Sukses


5 Kali Juara, Stadion Utama Gelora Bung Karno Jadi Saksi Bisu Kejayaan Persija

Bola.com, Jakarta - Persija Jakarta hingga saat ini tercatat sebagai klub terbanyak meraih gelar juara kompetisi kasta tertinggi Tanah Air. Mayoritas di antaranya didapat dengan memenangi laga puncak di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta.

Persija tercatat menjadi jawara perserikatan edisi tahun 1931, 1933, 1934, 1938 (sebagai VIJ Jakarta), 1954, 1964, 1973, 1975, 1979. Sebiji gelar lagi didapat Macan Kemayoran di era Liga Indonesia (penggabungan Galatama dan perserikatan), tepatnya pada musim 2001.

Semenjak SUGBK diresmikan 1962, tim ibu kota menjadi tim terbaik di stadion legendaris tersebut sebanyak lima kali.

Persija jarang gagal meraih trofi juara jika memainkan pertandingan puncak kompetisi berformat grand final. Mereka hanya tercatat tiga kali jadi runner-up, yakni pada edisi 1978, 1988, dan 2015.

Tak bisa dimungkiri semangat para pemain Persija selalu menggelora saat berlaga di Senayan, yang notabene kandang mereka. Puluhan ribu suporter pendukung Persija selalu mendominasi tribune stadion.

"Saat bertanding di SUGBK kami tentu tidak ingin mengecewakan suporter. Mereka datang dan membayar tiket pertandingan untuk menyaksikan Persija menjadi juara. Tidak ada cerita kami menjadi tim kedua, pokoknya di Senayan kami harus juara," ujar Oyong Liza, kapten Persija di era 1970-an dalam sebuah sesi wawancara dengan penulis beberapa tahun silam.

 

Para pemain Persija merindukan momen bermain di SUGBK, stadion yang menjadi saksi bisu kejayaan mereka. Apalagi sejak Liga musim 2017 memutuskan klub bermarkas di Stadion Patriot, Bekasi.

 

"Sedih juga melihat Persija kini terusir dari Jakarta. Persija itu tim ibu kota, sudah kitahnya kami bermain di SUGBK. Banyak kenangan manis di stadion tersebut. Buat saya pribadi semua tidak akan bisa terlupakan," ungkap Anjas Asmara, bintang Persija di era 1970-an.

 

Catatan sejarah menunjukkan Persija tidak selalu bermarkas di SUGBK. Di awal masa berdirinya pada 28 November 1928 klub yang satu ini sempat bermarkas di Lapangan Laan Trivelli (nama lama Tanah Abang), Lapangan Pulo Pioen (Petojo), Stadion IKADA, Stadion Menteng.

Beberapa tahun belakangan Persija kerap memainkan pertandingan kandang di Stadion Manahan (Solo), Stadion Kanjuruhan (Malang), dan terakhir Stadion Patriot (Bekasi). Banyak faktor yang menyebabkan Persija kerap jadi tim musafir. Mulai dari urusan sulitnya surat izin pertandingan, biaya sewa stadion yang mahal, hingga terkena hukuman dari PSSI.

Akan tetapi cerita melegenda Persija Jakarta meraih kesuksesan setiap bermain Stadion Utama Gelora Bung Karno, turun menurun berhembus dari mulut ke mulut para fans Tim Macan Kemayoran.

2 dari 4 halaman

Persija Raja Perserikatan

Persija Jakarta merupakan raja kompetisi amatir perserikatan. Koleksi gelar juara yang diraih Tim Macan Kemayoran mengalahkan Persebaya Surabaya, PSMS Medan, PSIS Semarang, atau Persib Bandung.

Pada periode 1950 hingga 1970-an Persija tidak pernah kering mencetak pesepak bola berbakat. Mereka lahir dari binaan kompetisi internal yang tertata rapi.

Persija kerap dijuluki miniatur Timnas Indonesia, sanking banyaknya pemain mereka yang masuk skuat Tim Merah-Putih.

Di era 1960-an sosok Endang Witarsa melegenda sebagai pelatih bertangan dingin yang banyak mencetak pemain-pemain belia berkelas Persija. Di awal masa kepemimpinannya pada tahun 1962, ia dengan berani melakukan perombakan total skuat Tim Macan Kemayoran.  

Pelatih yang berprofesi sebagai dokter gigi itu mencampakkan nama-nama beken macam Tan Liong Ho, Paidjo, San Liong, serta Chris Ong, yang menjadi pilar klub di era 1950-an. Skuat Persija dihuni pemain interval usia 16-19 tahun!

Endang mengusung filosofi permainan cepat, skillfull, dan cerdik.

"Saya seringkali mendapat kritikan-kritikan pedas. Saat permainan tim mengecewakan, saya kadang menjadi ragu-ragu dengan apa yang saya yakini. Namun, setelah membaca buku-buku tentang sepak bola dan memikirkan secara mendalam, saya yakin permainan yang saya usung paling sesuai dengan keadaan sekarang dan buat pemain kami," tutur Endang Witarsa dalam Buku 50 Tahun UMS.

Di era Endang Persija dibela Sinyo Aliandoe, Yudo Hadijanto, Surya Lesmana, Soetjipto Soentoro. Dan benar saja Persija di tangan Endang jadi tim terbaik dengan bermodal darah muda. Di laga final perserikatan 1964, Persija berjumpa Persebaya.

Saat itu Maung Bandung termasuk tim kuat di perserikatan, selain PSM Makassar. Laporan Majalah Aneka Olahraga menuliskan Stadion Utama Gelora Bung Karno penuh sesak 60 ribu pasang mata. 

Di hadapan pendukungnya Persija membungkam Tim Bajul Ijo 4-1. Gelar juara Persija terasa spesial karena sepanjang kompetisi perserikatan mereka tidak pernah kalah. Sukses Persija mengantar Endang Witarsa ke kursi nakhoda Timnas Indonesia.

Tujuh tahun berselang Persija kembali bersua Persebaya di laga puncak perserikatan 1973. Kali ini Persija ditukangi murid Endang, Sinyo Aliandoe.

Kedua tim yang terlibat bentrok bertabur bintang. Persija dibela Sutan Harharah, Anjas Asmara, dan Oyong Liza. Sementara itu, Persebaya diperkuat Rusdi Bahalwan, Abdul Kadir, dan Waskito.

Pertandingan di SUGBK berlangsung panas sejak menit awal. Seperti yang diberitakan Harian Merdeka, sempat terjadi tawuran antarpemain. Insiden baku pukul mencuat seusai Sutan Harharah mentekel Abdul Kadir. Pemain Persebaya lain yang tidak terima rekannya dikasari menyerbu Oyong Liza, kapten Persija.

Selanjutnya giliran Rusdi Bahalwan yang dikeroyok pemain Macan Kemayoran. Pihak keamanan turun ke lapangan buat memisahkan tawuran.

Sepanjang pertandingan Persebaya mengintimidasi Persija. Tim tuan rumah dibuat bertahan total.

Namun, dewi fortuna lebih berpihak pada Persija. Pada menit ke-81, berawal dari tendangan bebas, Risdianto melayangkan umpan terukur pada Andi Lala, yang kemudian dengan aksi individu memperdaya kiper Bajul Ijo, Harry Tjong. Hingga peluit panjang ditiup wasit skor tak berubah 1-0 buat tim ibu kota.

Pemain Persija melakukan aksi selebrasi keliling lapangan dengan membawa bendera berlambang Jaya Raya, yang menjadi simbol Jakarta dan Persija sendiri.

3 dari 4 halaman

2 Kali Pecundangi PSMS

Partai final perserikatan 1975 di Stadion Utama Senayan (nama lawas Stadion Utama Gelora Bung Karno) jadi pertandingan yang paling ditunggu-tunggu. Animo penonton amat tinggi.

Koran Pelita edisi 10 November 1975 menyebut penonton pertandingan ini menembus 125 ribu orang, rekor kedua tertinggi sepanjang masa setelah duel puncak perserikatan 1985 yang mempertemukan PSMS kontra Persib Bandung.

Harian Merdeka menggambarkan pertandingan Persija Vs PSMS amat meriah. Dari sebelah kanan tribun nyaring terdengar teriakan suporter: "Hidup Persija...Hidup Persija!"

Sebagai tuan rumah wajar jika Persija mendapat dukungan lebih banyak massa dibanding PSMS. Walau berstatus sebagai tim tamu kubu Ayam Kinantan lebih dulu unggul pada menit ke-10, lewat sumbangsih Parlin Siagian yang memperdaya gawang, Sudarno, lewat permainan kombinasi dengan Mariadi dan Nobon.

Sejak awal PSMS mengambil inisiatif menyerang. Permainan keras ala rap-rap mereka peragakan di lapangan basah yang diguyur hujan.

Persija menyamakan kedudukan lewat gol sundulan Andi Lala. Saat skor imbang pertandingan kian memanas. Kedua tim memperagakan permainan keras menjurus kasar.

Wasit Mahdi Thalib, sibuk mengeluarkan kartu dan memperingatkan pemain di kedua kubu.

Pemain PSMS dan Persija sempat bersitegang saat Sarman Panggabean memotong bola Junaidi Abdillah. Pemain Persija tidak terima rekannya dikasari. Para pemain PSMS tidak mau tinggal diam.

Perang mulut dan aksi saling dorong terjadi. Konflik terbuka pun meledak usai Iswadi Idris dikartu merah karena tekel keras ke Nobon. Kapten Persija, Oyong Liza, tidak terima dengan hukuman yang dijatuhkan pada kompatriotnya.

Oyong menilai semestinya Iswadi hanya kena kartu kuning, karena pelanggarannya mirip dengan Sarman. "Keputusan wasit tidak adil!" teriak Oyong seperti yang dikutip dari Harian Merdeka di tengah kerumunan aksi protes ke pengadil.

Perkelahian massal antarpemain pecah di lapangan. Pelipis Nobon luka karena kena pukulan sejumlah pemain Persija. Aparat keamanan turun tangan untuk memisahkan.

Ketua Umum PSSI, Kardono, turun ke lapangan. Ia melakukan pembicaraan dengan manajer kedua tim. Sebagai titik tengah ia mengusulkan juara bersama. "Pertandingan sudah terlalu panas, riskan jika dilanjutkan," ujar Kardono.

Pertandingan pun dihentikan pada menit ke-40. Persija dan PSMS dinobatkan sebagai juara bersama.

Persija kembali mengulang sukses menjadi juara perserikatan edisi 1979, yang menggunakan format final dengan sistem grouping. Persija saat itu ditukangi pelatih asing asal Polandia, Marek Janota.

Kepastian Persija menjadi juara didapat setelah mereka mengalahkan PSMS Medan dengan skor 1-0 di SUGBK. Gol tunggal Tim Merah dicetak Andi Lala di menit ke-64.

Pertandingan lain yang mempertemukan Persebaya kontra PSM yang berkesudahan 2-1 tak memengaruhi klasemen. Persija kembali berjaya di Senayan.

4 dari 4 halaman

Juara Liga Indonesia 2001

PSSI memutuskan memutar kompetisi format baru dengan menggabungkan klub-klub galatama dengan perserikatan. Kompetisi berlabel Liga Indonesia dihelat perdana musim 1995-1996 dengan memunculkan Persib Bandung sebagai juara.

Di awal-awal Liga Indonesia, Persija jadi spesialis papan bawah. Kondisi keuangan yang seret membuat klub ibu kota tak bisa kompetitif.

Kehadiran Gubernur DKI, Sutiyoso alias Bang Yos pada 1997 sebagai pembina klub merubah situasi. Persija mendadak jadi klub kaya raya dengan keuangan gemuk kucuran APBD.

Bang Yos yang mendorong terbentuknya kelompok suporter The Jakmania. Karena prestasi yang melempem, Persija kehilangan pendukung.

Minggu Malam, 7 Oktober 2001, jadi momen yang tidak bisa dilupakan bagi pendukung Persija, The Jakmania. Warna oranye mendominasi Stadion Utama Gelora Bung Karno. The Jakmania datang ke stadion buat memberi dukungan kepada Macan Kemayoran yang berhadapan dengan PSM Makassar di final Liga Indonesia 2001.

Laporan pertandingan PSSI menyebut angka penonton laga ini menembus 60 ribu orang. Dukungan The Jakmania membakar semangat Bambang Pamungkas dkk. di lapangan.

Persija unggul tiga gol sumbangan Imran Nahumarury dan Bepe (2 gol), sebelum akhirnya Tim Juku Eja memangkas skor menjadi 3-2.

Gol kedua Bambang masuk kategori gol indah. Playmaker Persija kala itu, Luciano Leandro berperan besar dalam proses terjadinya gol tersebut.

Pemain asal Brasil itu menyodorkan umpan lambung ke Bepe yang dalam posisi bebas di sisi luar pertahanan PSM. Bek Ayam Jantan dari Timur, Joseph Lewono, kelimpungan mengejar lari Bambang. Tendangan keras sang striker mengoyak gawang PSM yang dikawal Hendro Kartiko.

"Saya sudah menduga kiper akan mempersempit ruang tembak, tapi dengan kaki kiri saya arahkan bola ke kanan atas yang tak terjangkau olehnya," ujar Bepe yang di Liga Indonesia 2001 mencetak 15 gol dan mencatatkan diri sebagai pemain terbaik.

"Gol yang brilian. Bambang cerdik sekaligus licin bisa melepaskan diri dari pemain belakang kami. Saya sudah mencoba mempersempit ruang tembak, tapi ia masih bisa melihat celah kosong," komentar Hendro Kartiko.

Pelatih PSM, Syamsuddin Umar mengakui Persija pantas menjadi kampiun. "Mereka unggul materi pemain. Kualitas tim inti dan pengganti sama bagus. Sementara di tim kami hal itu menjadi masalah."

Di Liga Indonesia 2001 skuat Persija memang mentereng. Selain Bambang, Tim Oranye punya pemain-pemain berkelas macam Luciano Leandro, Gendut Doni, Anang Ma'ruf, Nuralim, Antonio Claudio, Imran Nahumarury.

The Jakmania berpesta usai Persija mengangkat piala. Bepe dkk. diarak keliling jalan besar ibu kota. Suporter sempat merayakan kesuksesan tim kesayangannya di Bundaran Hotel Indonesia.

Akankah cerita-cerita sukses Persija di SUGBK akan berulang pada Sabtu (17/2/2018)? Persija akan berjumpa Bali United dalam laga puncak Piala Presiden 2018.

Video Populer

Foto Populer