Sukses


Kolom: Di Balik 48 Jam Keruntuhan Liga Super Eropa

Bola.com, Jakarta - Tidak ada hujan dan tidak ada angin, dunia sepak bola terguncang pada awal pekan ini akibat lahirnya Liga Super Eropa. Mantan bek Manchester United, Rio Ferdinand, secara hiperbolis melabelinya perang sepak bola.  Ada juga yang menyebutnya momen tergila di sepak bola.

Namun, kegilaan terbesar dalam sepak bola itu hanya bertahan selama 48 jam, bisa juga dihitung 72 jam hingga ada pengakuan resmi bahwa proyek itu telah runtuh, kolaps, atau apa pun sebutannya. Bahkan kehebohannya jauh lebih singkat dibanding fenomena Odading Mang Oleng atau Club House. 

Apa yang membuat kegaduhan itu padam begitu cepat? Mari kita lihat dulu sepak mula dari segala guncangan itu. 

Sebanyak 12 klub kaya raya Eropa merasa punya ide sangat brilian yang diyakini akan "menyelamatkan sepak bola". Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, Juventus, Inter Milan, AC Milan, Manchester United, Manchester City, Liverpool, Chelsea, Arsenal, dan Tottenham Hotspur mengumumkan lahirnya turnamen baru bernama Liga Super Eropa. Turnamen ini secara langsung jadi tandingan Liga Champions, sehingga UEFA langsung kebakaran jenggot karena wilayahnya diusik. 

Para pemilik klub seperti Andrea Agnelli, Florentino Perez, Joel Glazer, John W. Henry, hingga Roman Abramovich berada di barisan inisiator Liga Super Eropa. 

Mereka mengusung skema cerdik, yang sebenarnya sudah ada embrionya sejak lebih dari dua dekade silam, untuk meraup lebih banyak uang. Namun, bukannya dengan cara bermain ngotot di turnamen yang sudah ada, langsung sebut saja Liga Champions, mereka memilih membuat Liga Super Eropa, yang sangat eksklusif. Para oligarki sepak bola dengan berani menjungkirbalikkan sistem. 

 

Tidak ada tempat bagi tim yang dianggap lemah dan miskin di turnamen Liga Super Eropa. Konsep ini digadang-gadang bisa menyedot minat besar penonton secara global, prestisius, dan menjadi ladang uang yang menggiurkan. 

 

Kub-klub calon peserta dibujuk rayu dengan tawaran yang sulit diabaikan. Seberapa besar nominalnya? Detail hitungan soal uang menggiurkan itu muncul Oktober 2020, melibatkan bank raksasa Wall Street JP Morgan. Kompetisi Liga Super Eropa akan berbiaya  4,6 miliar pounds (setara Rp92 triliun) setiap tahun. Klub-klub pendiri masing-masing akan memperoleh 3,5 miliar euro. Uang itu disebut untuk mendukung rencana investasi infrastruktur mereka sekaligus menanggulangi dampak pandemi Covid-19. 

Jadi, sangat terang benderang bahwa motif lahirnya kompetisi ini adalah uang, yang dibalut dengan klaim heroisme untuk menyelamatkan sepak bola, merangkul lebih banyak penonton muda, hingga memberikan tontonan berkualitas setiap pekan, seperti yang disuarakan Presiden Real Madrid, Florentino Perez.

Jalan menuju proposal Liga Super Eropa diaspal dengan keserakahan, serta kepanikan karena anjloknya pendapatan akibat pandemi virus corona. Sudah menjadi rahasia umum, keuangan klub-klub ini berdarah-darah akibat pandemi.  Liga Super Eropa menjadi jalan pintas untuk menyelamatkan diri. 

Yang luput dari perhitungan mereka, atau mungkin sudah diprediksi tapi ternyata lebih kuat dari dugaan, adalah respons yang begitu sengit dari berbagai pihak. Fans, para pemain, pelatih, mantan pemain, media, UEFA, FIFA, pemerintah setiap, liga domestik, dan lain-lain sangat berang. Mereka melawan dan menang. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 4 halaman

Inggris Jadi Ladang Pertempuran

Inggris menjadi ladang pertempuran yang hebat. Ide yang diusung 12 klub itu, enam di antaranya dari Premier League, dianggap sebagai tamparan dan penghinaan atas nilai-nilai sepak bola. Negeri yang mengklaim sebagai tempat lahirnya bola sepak itu tidak terima. Bayangkan saja, konsep Liga Super Eropa menafikkan munculnya dongeng si lemah yang mengalahkan raksasa, impian yang tak terbatas, dan ikatan emosi yang membalut pertandingan.

Kita bicara tentang Inggris, yang sangat meromantisasi semua hal tersebut. Lihat saja bagaimana Inggris begitu membanggakan Piala FA yang memungkinkan klub-klub divisi rendah punya panggung untuk bermimpi mempermalukan para raksasa, meski pada akhirnya gelar juara tetap didominasi tim kuat. 

Inggris juga tidak mau "pengkhianatan" enam klub raksasa itu mengganggu dan merugikan Premier League, yang menjadi kompetisi dengan perputaran uang luar biasa. Aset negara harus dilindungi.   

Perlawanan di Inggris begitu spartan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengancam akan menempuh segala cara untuk menjegal Liga Super Eropa. Ia sangat bersemangat tampil sebagai pahlawan karena tahu akan menguntungkan untuk citra politiknya. 

Pangeran Williams juga bersuara, media kompak mengecam, bahkan para pemain dengan gagah berani mengambil sikap berseberangan dengan klub. Jordan Henderson, Bruno Fernandes, hingga Kevin de Bruyne berada di barisan itu. UEFA dan FIFA, yang tidak bisa disebut pihak-pihak yang suci dalam urusan dengan uang, mengancam memanas-manasi sembari melihat dari jauh, kemudian menjadi yang tertawa paling akhir. 

Yang paling sengit adalah pelawanan dari suporter. Bukan hanya bising di media sosial, fans turun ke jalan. Lihat bagaimana protes fans The Blues bisa membuat laga Chelsea kontra Brighton tertunda 15 menit, fans MU, Arsenal, Liverpool, City, dan Spurs juga tanpa tedeng aling-aling mengekspresikan kegeraman mereka melalui spanduk-spanduk yang dipasang di depan stadion. Mereka membenci ide Liga Super Eropa. 

Gelombang perlawanan yang begitu masif akhirnya membuat enam klub Premier League tumbang. Hanya berselang 48 jam setelah proyek ambisius itu diluncurkan, 6 klub Premier League mengundurkan diri. Hengkangnya enam klub tersebut, secara langsung menggulingkan Liga Super Eropa. Satu persatu klub-klub lainnya ikut hengkang. 

Para pendiri Liga Super Eropa tampak lemah membaca situasi, sebelum meluncurkan proposal kontroversial itu. Mereka lupa melihat dari sudut pandang suporter, yang merupakan bagian penting atau bahkan yang terpenting dari olahraga, termasuk sepak bola. 

Mereka begitu enteng berpikir suporter akan menyambut ide Liga Super Eropa dengan tangan yang terentang lebar. Bagaimana mungkin mereka mengira fans senaif itu, tak bisa melihat motif tersembunyi (atau terang-terangan) di balik Liga Super Eropa, yang hanya akan menguntungkan segelintir klub dan membuat yang lainnya menderita. Bahkan, klub yang terlibat belum tentu menikmati seluruh keuntungannya. Siapa yang berani menjamin keuntungan yang didapat klub, sebagian besar tak masuk ke kantong para oligarki yang menguasai tim-tim tersebut? 

Ke-12 klub itu juga begitu pongah meyakini fans hanya ingin melihat big match setiap pekan. Betapa membosankannya jika itu terjadi. Big match tak lagi terasa istimewa ketika bisa ditonton setiap saat.

Apakah petinggi-petinggi klub itu tak tahu fans juga butuh kesenangan melihat timnya berpesta gol ke gawang tim lemah atau mengumpat ketika tim kesayangan keok dari tim gurem.  Andrea Agnelli, Joel Glazel, atau Florentino Perez mungkin juga tak tahu betapa puasnya fans Manchester United ketika melihat Liverpool atau Arsenal gagal lolos ke Liga Champions. Alih-alih mereka malah menjamin ke-12 klub pendiri itu akan selalu bisa tampil di Liga Super Eropa, apa pun hasil yang diraih di liga domestik, bahkan jika terdegradasi. 

Yang jelas, para bos-bos klub itu tidak berusaha atau tidak mau mendengarkan semua pihak sebelum meluncurkan proposal Liga Super Eropa. 

 

3 dari 4 halaman

Komunikasi yang Buruk

Faktor lain yang membuat proposal Liga Super Eropa begitu mudah kolaps adalah buruknya penanganan komunikasi, sangat ceroboh dan serampangan. Lihatlah bagaimana ketika proposal itu diluncurkan, para pemilik klub tak mau tampil di depan. Ketika akhirnya Florentino Perez muncul dan bersikap sebagai juru bicara, banyak pernyataannya yang blunder. 

Para pemilik klub malah membiarkan pelatih dan pemain menjadi tameng untuk menghadapi pers. Padahal, mereka juga tidak tahu apa-apa. Mereka harus menghadapi pers tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, karena mereka juga tidak diberi tahu sebelum proyek Liga Super Eropa diluncurkan, alih-alih diajak berdiskusi. 

Mengapa juga para pendiri Liga Super Eropa itu tidak memberikan informasi terlebih dahulu kepada pemerintah setempat ketika akan mengeluarkan ide yang begitu kontroversial. Apalah mereka berpikir pemerintah Inggris akan senang dengan rencana mereka menghancurkan salah satu industri paling menguntungkan di negara itu? 

Pihak pendiri Liga Super Eropa juga tidak memberikan narasi yang gamblang mengapa turnamen tersebut perlu ada. Publik hanya tahu alasan dangkal seperti yang disuarakan Florentino Perez, sebatas bahwa ini akan menjadi era baru sepak bola dan menyelamatkan sepak bola. Ya, cuma itu. 

Tidak ada penjelasan yang meyakinkan juga tentang struktur turnamen yang akan dipakai. Konsepnya terasa setengah matang. Publik kompetisi itu bakal melibatkan 20 klub, dengan 15 di antaranya adalah anggota permanen kompetisi selama 20 tahun. Lima tim lainnya bakal dirotasi berdasarkan performa.

Namun, tidak ada penjelasan yang komprehensif tim lain mana yang akan dipilih dan kriterianya apa, untuk mengisi tiga slot pendiri yang masih tersisa maupun lima tim yang bakal dirotasi. Bayern Munchen dan Borussia Dortmund, begitu juga PSG sudah menolak ambil bagian. Publik hanya tahu, ke-12 tim pendiri itu terjamin posisinya selama 20 tahun dan sisanya masih gelap. 

Komunikasi yang buruk dari para penggagas Liga Super Eropa membuat fans, pemain, media, dan lain-lain punya interpretasi masing-masing tentang turmanen itu. Jadi, para petinggi ke-12 klub itu tidak bisa protes ketika respons yang didapat berbalik menyerang mereka dengan hebat dan spartan.  

4 dari 4 halaman

Kemenangan Besar Suporter

Mantan manajer Chelsea, Avrant Grant, merasa saga Liga Super Eropa merupakan kemenangan besar bagi suporter sepak bola dunia.   

"Ini kemenangan yang sangat besar bagi para suporter. Sepak bola berasal dari hati. Ini adalah kemenangan bagi rakyat. Ini adalah kemenangan terbesar. Dalam demokrasi, rakyat memilih, inilah demokrasi dan rakyat berkata tidak," ujar Grant.  

Dia menunjukkan bagaimana sepak bola berbeda dengan olahraga lain, yang mungkin mengejutkan beberapa pemilik klub yang berasal dari Amerika, saat mereka mencoba untuk memaksakan proyek yang akan menjamin keterlibatan klub pendiri setiap tahun.

"Mereka (para pemilik klub) membandingkan sepak bola dengan NBA, itu bukan perbandingan yang bagus. Apa yang mereka katakan tidak benar. Ini bukan NBA. Di NBA ada draf," ujar Grant, kepada Stats Perform News.

"Tentu saja, mereka salah menilai karena tidak berasal dari kultur sepak bola. Misalnya ada tiga pemilik yang berasal dari Amerika. Saya bertemu salah satu dari mereka, orang yang luar biasa tetapi mereka tidak mengenal sepak bola. Di sepak bola satu ditambah satu bukan dua. Pengambilan keputusan berbeda. Sepak bola tentang emosi. Permainan tidak murni tentang bisnis. Ada banyak gairah di dalamnya," imbuh Grant. 

Menurut Grant, kegaduhan Liga Super Eropa yang layu sebelum berkembang itu menjadi pelajaran bagi para pemilik klub, bahwa uang itu penting, tapi passion juga tidak kalah krusial. "Mereka akan mengambil pelajaran dari semua ini. Mereka semua pria yang pandai," ujar Grant. 

"Kami senang ketika Leicester City menjadi juara, Anda tidak boleh menghilangkan peluang klub untuk tampil di Eropa. Bahkan, LA Lakers tak selalu masuk playoff, mereka harus berjuang." 

Grant tidak hanya mengkritik. Dia memahami alasan di balik "pemberontakan" itu, tapi proposal tentang Super Liga Eropa sangat salah. 

Ya, kita semua tahu alasan sebenarnya di balik pembentukan Liga Super Eropa. Klub-klub mengira bisa mendapatkan lebih banyak kucuran uang lebih banyak dari reformasi Liga Champions, dan ketika itu tidak terjadi, satu-satunya jalan yang diambil adalah mendirikan liga sempalan, yang menjanjikan dana berlimpah.

Dalam kondisi finansial yang sulit karena pandemi virus corona, klub banyak berharap meraup banyak uang dari Liga Champions. Turnamen terbaik Eropa yang dijalankan UEFA itu memang bisa menjadi ladang untuk mendulang banyak uang di waktu normal.  Tapi saat ini bukan waktu yang normal, sehingga uang yang bisa dikeruk klub dari Liga Champions juga tidak sebanyak biasanya. 

Pada Oktober 2020, UEFA memberi tahu klub bahwa Liga Champions kehilangan sekitar 600 juta dolar AS (setara Rp8,7 triliun) karena pandemi, sehingga pembagian uang ke klub akan dikurangi dalam lima musim ke depan. 

Itu jelas bukan kabar menyenangkan bagi klub-klub raksasa Eropa. Bahkan, mereka merasa pembagian pendapatan dari Liga Champions di masa normal saja masih kurang adil dan ideal, apalagi sekarang malah dikurangi. Tak heran, Liga Super Eropa dianggap bisa menjadi sekoci penyelamat, bahkan jauh lebih menguntungkan.

Apakah Liga Super Eropa sudah mati? Ya, setidaknya untuk saat ini. Tetapi, bukan tidak mungkin ide tersebut akan bangkit lagi, setahun, lima tahun, atau 10 tahun mendatang.  

UEFA harus mencari solusi dengan klub-klub besar untuk menjaga keseimbangan antara keuangan dan marwah sepak bola. Toh, saga selama 48 jam membuktikan aksi "saling cakar" selama 48 jam tidak menguntungkan siapa pun.  Solusinya tetap harus duduk bersama, mencari solusi yang adil atau setidaknya mendekati adil bagi semua pihak.

Jika tidak, siap-siap saja kita akan menghadapi kegaduhan yang sama di masa-masa mendatang. Siapa yang akan dirugikan? Tentu saja fans, pemain, pelatih berada di urutan teratas. UEFA dan pemilik klub toh tetap akan kaya raya seperti biasanya. 

 

Yus Mei Sawitri 

*) Penulis editor madya Bola.com

Video Populer

Foto Populer