Sukses


KOLOM: Sepak Bola Indonesia, Ramai dalam Sepi

Bola.com, - “Harus segera ada turnamen-turnamen lain yang bisa menghidupkan kembali sepak bola nasional,” ujar Presiden Joko Widodo di Istana Negara saat menerima pada pemain dan ofisial tim Persib Bandung. Tentu saja Presiden berujar dengan sangat serius. Ia percaya yang dibutuhkan sepak bola nasional untuk tetap hidup adalah turnamen yang berkesinambungan. Dia juga yakin sepak bola Indonesia masih ada dan terus menggeliat.

Benarkah begitu? Setidaknya itulah yang saya simpulkan setelah mendengar pendapat Presiden yang disampaikan kepada media saat itu. Bapak Presiden seolah lupa (atau salah dibisiki) bahwa saat ini sepak bola Indonesia praktis mati. Beliau mungkin juga kurang paham muara dari kompetisi atau pertandingan dalam negeri adalah tim nasional yang bertemu dengan negara-negara lain.

Pemain Persib menerima trofi juara Piala Presiden 2015 dari Presiden Joko Widodo di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (18/10/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Bapak Presiden tentu berkaca dari kisah sukses Persib Bandung yang secara meyakinkan mampu menjadi yang terbaik di pergelaran turnamen anyar yang diciptakan karena tiadanya kompetisi nasional. Beliau juga melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kemenangan itu disaksikan berpuluh ribu pasang mata dan jutaan lainnya lewat televisi dengan antusiasme besar. Bapak Presiden juga menjadi saksi aura sepak bola lekat terasa di Stadiun Utama Gelora Bung Karno malam itu, ditambah dengan pesta para bobotoh yang lapar gelar dan berhasil memenanginya kembali di Jakarta!

Pengaruh Pembekuan

Namun—tentu dengan segala hormat kepada Persib Bandung—akan pergi ke mana sang juara Piala Presiden yang begitu diagungkan sampai diundang resmi ke istana? Sepak bola Indonesia telah mati jika ukuran yang dipakai sama dengan standar seluruh negara berdaulat sepak bola di dunia ini. Jangankan bertarung di kompetisi atau liga level Asia, sekadar beranjangsana dengan tim asing saja Persib tak akan bisa. Mereka tentu bukan tak bisa dalam pemahaman tak mampu. Persib adalah anggota federasi sepak bola di Republik Indonesia yang tengah dibekukan FIFA. Jadi, tim kebanggaan Bandung ini otomatis juga terkena pengaruh pembekuan federasi induknya.

Tak lama setelah Bapak Presiden—yang memakai sepatu pantofel kesukaannya saat bertanding sepak bola melawan Selebriti Football Club menjelang pelantikannya—mengucapkan kalimat pembuka tulisan ini saat menjamu sang juara, para pejabat dan tentu saja pers, turnamen lanjutan kemudian siap digelar. Sebut saja namanya Piala Jenderal Sudirman.

Penyerang PBR, Ibrahim Coteh mengontrol bola pada latihan jelang Piala Jenderal Sudirman di Lapangan National Youth Training Center, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Senin (2/11/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Turnamen yang tak ada hubungannya dengan film yang dibintangi Adipati Dolken ini kabarnya mempertemukan tim-tim Indonesia Super League ditambah dengan satu tim dari militer Indonesia, TNI. Tak perlu bertanya mengapa harus ada tim militer yang notabene amatir di turnamen—yang katanya—bergengsi di republik ini. Tak perlu juga bertanya akan ke mana lagi sang juara turnamen dua bulanan level nasional yang saya yakini akan kembali menyedot perhatian bangsa, negara, dan para pencinta sepak bola.

Kita memang selalu gembira pada keramaian, selalu menyenangi sebuah kemenangan, dan memujanya setinggi langit. Namun, kita sesungguhnya tak pernah benar-benar paham apakah kemenangan itu berguna? Apakah kemenangan itu benar-benar berfungsi besar dan bisa menunjukkan pada bangsa lain siapa kita sebenarnya? Di sepak bola kita, seorang pemain yang rajin berlari membawa bola akan mendapat perhatian besar sekaligus tepuk tangan meriah, tak peduli si pemain praktis tak berguna bagi timnya karena setiap umpannya sulit menemui sasaran.

Macan Asia

Pada sepak bola kemenangan besar di dalam negeri dan keriuhan di stadion-stadion selalu menjadi perbincangan hangat dan perhatian besar. Padahal, dari dulu hanya di situ saja keramaian yang sanggup kita ciptakan. Tak pernah kita benar-benar mampu merajai dunia luar. Gelar juara Aga Khan yang lalu membuat kita disebut Macan Asia era 1960-an atau 1970-an itu direbut di Bangladesh dengan lawan macam Sri Lanka, Pakistan atau India atau Burma (kini Myanmar).

Kita menyebut diri kita sang Macan Asia era 1970-an, era saat Iran atau Kuwait menjadi juara Asia dan Jepang merebut medali perunggu Olimpiade. Kita mampu ke Olimpiade saja tak pernah, bahkan kini mendekat pun tak sanggup. Bahkan kini beradu dengan tim asing dalam level tarkam sekalipun kita tak bisa.

Kapten Persipura Boaz Solossa. (Bola.com/Robby Firly)

Sepak bola kita tetap ramai dan riuh rendah….memang, tapi hanya kita saja yang tahu keriuhan itu. Hanya kita saja yang tahu bahwa Indonesia punya pemain berbakat. Bangsa lain mana tahu atau pernah mendengar tentang Boaz Solossa, Bambang Pamungkas atau bahkan yang level legenda macam Soetjipto Soentoro atau Andi Lala pun hanya kita yang tahu, atau terjauh hanya negara Asia Tenggara saja yang tahu mereka.

Kita bangga saat almarhum Ramang tertulis di laman FIFA, tanpa pernah mencari tahu mengapa mereka tahu siapa Ramang dan siapa yang menuliskan laman itu. Kita memang begitu, selalu ramai….ramai tak terhingga di dalam, namun sepi di luar. Sesepi nama negeri kita yang praktis tidak dikenali oleh banyak bangsa.

Andibachtiar Yusuf
@andibachtiar
Filmmaker & Traveller

 

Video Populer

Foto Populer