Sukses


Dilema Pandemi COVID-19, Nasib Kompetisi dan Mimpi Buruk Klub Indonesia

Bola.com, Jakarta - Rasanya 2020 seakan menjadi mimpi buruk buat seluruh masyarakat bumi. Bencana bernama pandemi virus corona COVID-19 hadir dan menjadi mimpi buruk bersama seluruh umat manusia.

Pandemi virus corona hadir dan menjadi malaikat maut yang mengintai setiap saat nyawa manusia. Sudah banyak manusia di seluruh dunia meregang nyawa akibat terinfeksi COVID-19.

Selain itu, pandemi virus corona juga membawa masalah di segala sektor. Perekonomian lumpuh, hingga kemerdekaan manusia untuk berinteraksi sosial yang direnggut.

Pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan status Darurat Bencana COVID-19 Hingga 29 Mei 2020. Masa-masa itu kemudian membuat PSSI mengambil tindakan cepat untuk menghentikan kompetisi Shopee Liga 1 2020 yang baru berlangsung selama tiga pekan pada Maret lalu.

“Saya selaku Ketua Umum PSSI memutuskan, PSSI menetapkan bahwa Maret, April, Mei, dan Juni adalah status keadaan tertentu darurat bencana terkait penyebaran COVID-19 di Indonesia, maka status ini disebut keadaan kahar atau force majeure," kata Mochamad Iriawan pada pengujung Maret 2020.

PSSI mengikuti anjuran pemerintah untuk menunda kompetisi sampai pengujung Mei 2020. Jika status darurat bencana dicabut, maka kompetisi siap kembali bergulir setelah 1 Juli. Sebaliknya, jika status tersebut diperpanjang maka besar kemungkinan akan dihentikan secara total.

"Apabila status keadaan tertentu darurat bencana tidak diperpanjang oleh pemerintah, maka PSSI menginstruksikan PT LIB untuk dapat melanjutkan Liga 1 dan Liga 2 terhitung mulai 1 Juli 2020," tegas pria yang akrab disapa Iwan Bule itu.

Penghentian sementara kompetisi dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi virus corona. Apalagi pertandingan sepak bola yang digelar di stadion memungkinkan untuk menjadi pusat penyebaran COVID-19.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 4 halaman

Mimpi Buruk Kompetisi

Penghentian sementara kompetisi tentu saja menjadi mimpi buruk. Masalah keuangan menjadi tantangan yang harus dihadapi klub-klub sepak bola di Indonesia.

Tak ada kompetisi artinya tak ada pertandingan. Otomatis penghasilan klub-klub juga menurun dratis. Hal itu diperburuk dengan kewajiban klub untuk tetap membayar gaji pemain, pelatih, dan ofisial di tengah pandemi virus corona.

PSSI mewajibkan klub untuk membayar gaji sebesar 25 persen dari nilai kontrak terhadap pemain, pelatih, dan ofisial tim, selama situasi sulit ini. Jumlah tersebut tetap memberatkan karena tak semua klub memiliki keuangan dan sumber dana yang melimpah.

Persita Tangerang menjadi yang paling nyaring bersuara. Manajer I Nyoman Suryanthara berharap PSSI merevisi lagi keputusan seputar batas pembayaran gaji. Apalagi saat ini klub tak memiliki pemasukan yang jelas karena berhentinya kompetisi.

"Tentu kemampuan finansial klub tidak sama. Apalagi dalam kondisi seperti ini, otomatis secara pemasukan akan lumayan berkurang," kata I Nyoman Suryanthara, Sabtu (28/3/2020).

"Kami berharap ada keterlibatan PSSI di sini. Setidaknya untuk memperjelas teknis seperti apa penentuan persentase gaji yang akan diberikan selama masa darurat ini," tegas Nyoman.

Pelatih Persita Tangerang, Widodo Cahyono Putro, saat melawan PSM Makassar pada laga Shopee Liga 1 di Stadion Sport Center Tangerang, Jumat, (6/3/2020). Kedua tim bermain imbang 1-1. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Seiring masalah finansial yang dialami klub, pemain, pelatih, dan ofisial juga mendapatkan situasi serupa. Pemotongan gaji sebesar 75 persen juga menjadi mimpi buruk buat mereka.

Ada yang bijak menyikapinya, ada pula yang lantang bersuara. Hal itu tak terlepas dari ketidakjelasan terkait masa depan mereka dan juga sepak bola Indonesia.

Bek Persipura Jayapura, Arthur Cunha, tak sepakat dengan kebijakan PSSI yang memotong gaji pemain sampai 75 persen. Menurut Arthur, keputusan tersebut sangat merugikan pemain, khususnya yang berasal dari luar Indonesia.

Arthur menyadari situasi sepak bola Indonesia sedang tidak bagus karena pandemi virus corona. Namun, pemain asal Brasil itu berharap PSSI menemukan formula yang lebih tepat, ketimbang memotong gaji sampai 75 persen.

"Itu lumayan susah buat semuanya. Bukan hanya pemain asing, tetapi juga pemain lokal. Yang saya tahu, FIFA bicara maksimal memotong gaji 50 persen, tapi PSSI bilang 75 persen," kata Arthur dalam Youtube resmi klub.

"Keluarga pemain asing tentunya berada di negara lain. Tinggal di Brasil lebih mahal dari Indonesia. Jadi, dengan gaji 25 persen akan susah sekali," ujar pemain berrusia 30 tahun itu.

3 dari 4 halaman

Semakin Terjepit

Belum selesai prahara gaji pemain, klub-klub Indonesia kini dibebani masalah baru oleh PT Liga Indonesia Baru (LIB). Klub yang sudah lama berharap adanya tambahan amunisi keuangan dari dana subsidi, justru PT LIB ingin memotongnya.

PT LIB berkirim surat ke PSSI yang isinya berencana memangkas dana subsidi yang diterima klub Liga 1, yakni menjadi Rp350 juta dari Rp520 juta, sedangkan Liga 2 dari Rp250 juta menjadi Rp100 juta. Reaksi kecaman langsung dilontarkan klub-klub Indonesia.

Bhayangkara FC menjadi satu di antaranya yang kecewa jika keputusan tersebut diberlakukan pada masa-masa sulit sekarang. COO Bhayangkara FC, Sumardji, menyebut dana subsidi dari PT LIB adalah suplemen sesaat yang dibutuhkan klub-klub di tengah situasi sulit seperti saat ini.

"Ya jangan dipotonglah. Kami saat ini sudah habis-habisan untuk tim. Sebenarnya semua tim juga pasti berharap dari dana subsidi yang diberikan PT LIB tersebut untuk membantu kebutuhan dari tim itu," kata Sumardji, Rabu (6/5/2020).

"Sekarang sponsor sudah tidak ada yang masuk karena pandemi virus corona ini. Namun, kami masih memiliki kewajiban untuk membayar gaji pemain dan itu harus kami bayarkan. Kalau memang dipotong, kami pasti akan sangat dirugikan," tegas Sumardji.

Untungnya, rencana pemotongan dana subsidi yang diwacanakan PT LIB bertepuk sebelah tangan. PSSI mengeluarkan keputusan agar PT LIB bertanggung jawab untuk memberikan dana subsidi sesuai dengan kesepakatan awal musim.

4 dari 4 halaman

Berbeda Pandangan

Selain masalah pemotongan dana subsidi, PT LIB juga mendesak PSSI untuk segera mengambil keputusan terkait penghentian kompetisi. Pertimbangannya adalah agar semua klub di Indonesia mendapatkan kepastian.

PT LIB berdalih mayoritas klub peserta Shopee Liga 1 2020 mendesak musim ini untuk dihentikan. Jawaban tersebut berasal dari surat korespondensi yang telah dikumpulkan pada 29 April sampai 1 Mei lalu.

Hasilnya, lebih banyak tim yang menyarankan kompetisi untuk ditiadakan dibanding harus kembali digelar, tapi harus menunggu keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.

"Lebih banyak klub, termasuk dari Shopee Liga 1, yang berharap kompetisi dihentikan saja. Mereka ingin menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah tentang penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Yang lain menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada PSSI," ujar Direktur Operasional PT LIB, Sujarno.

Namun, PSSI tak ingin terburu-buru menentukan nasib kompetisi Shopee Liga 1 2020. Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, mengaku pihaknya akan melakukan rapat secara virtual dengan Komite Eksekutif (Exco) pada Jumat (8/5/2020).

Ketua Umum PSSI terpilih Mochamad Iriawan (tengah) didampingi dua Wakil Ketua Umum terpilih Cucu Somantri dan Iwan Budianto berfoto bersama dalam penutupan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, Sabtu (2/11/2019). (Liputan6.com/Her

Dalam rapat nanti akan dibahas bagaimana kelanjutan Shopee Liga 1 2020, bakal dihentikan lagi atau dihentikan secara total. Namun, Mochamad Iriawan menegaskan sikap PSSI tetap jelas, yakni mengacu kepada keputusan Pemerintah Republik Indonesia.

"Kami masih berpegang kepada protokol kesehatan pemerintah dulu ya, kan deadline masih sampai 29 Mei. Namun, Jumat kami akan menggelar rapat dengan Exco, rapat virtual. Jadi, sementara masih berpegang kepada protokol kesehatan pemerintah," kata Mochamad Iriawan.

Selain masalah nasib kompetisi, dalam rapat nanti PSSI juga akan membahas situasi finansial klub. Mochamad Iriawan menyebut masalah ini sangat krusial karena hal tersebut yang berdampak langsung karena pandemi virus corona.

"Kami akan melihat apakah Liga 1 dan Liga 2 ada kesulitan, apakah ada masalah finansial, dan sebagainya. Ini masalahnya cukup kompleks, misalnya soal kontrak pemain dan pelatih. Itu harus dikaji dengan betul-betul," ujar pria yang akrab disapa Iwan Bule itu.

Kini, segala keputusan berada di pundak PSSI selaku organisasi tertinggi sepak bola di Indonesia. Menarik untuk menunggu sikap tegas dari PSSI sehingga bisa diambil jalan terbaik dan tidak merugikan pihak tertentu.

Video Populer

Foto Populer