Sukses


Menggugat Skandal Mafia Wasit di Liga Indonesia 1998: Siapa Dalang Sesungguhnya?

Bola.com, Jakarta - Berbagai kontroversi dan sensasi kerap mewarnai perjalanan sepak bola Indonesia. Kompetisi profesional Liga Indonesia dari tahun ke tahun diwarnai cerita-cerita negatif yang merusak citra pelaku sepak bola Tanah Air.

Kasus teranyar yang mencoreng dunia bal-balan di Indonesia melibatkan Ketua Umum PSSI ke-17, Joko Driyono. Pria asal Ngawi, Jawa Timur itu tersandung kasus pengrusakan barang bukti pengaturan skor yang ditangani Satgas Antimafia Bola bentukan Mabes Polri.

Akibat permasalahan tersebut, pria asal Ngawi, Jawa Timur itu diganjar hukuman 1 tahun 6 bulan kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 Juli 2019. Hakim menyatakan Jokdri terbukti bersalah melanggar Pasal 235 juncto Pasal 233 dan Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP.

"Majelis hakim yang mengadili perkara ini menjatuhkan pidana dengan penjara 1 tahun 6 bulan dan dikurangi masa selama berada di tahanan," Ketua Majelis Hakim Kartim Haerudin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 23 Juli 2019.

Vonis ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut Jokdri dengan hukuman 2 tahun 6 bulan kurungan penjara.

Kasus pengrusakan barang bukti pengaturan skor melibatkan Joko Driyono, hanya salah satu kasus yang sempat menghebohkan dunia sepak bola Indonesia. Jauh sebelumnya Liga Indonesia pernah dihebohkan skandal besar mafia wasit. Tepatnya pada musim 1997-1998.

Kasus tersebut menciptakan trauma berkepanjangan. Hingga saat ini para wasit menanggung dosa selalu dijadikan kambing hitam aneka kasus match fixing yang terjadi di sepak bola kita.

Seperti apa detail kasus tersebut?

Rakernas PSSI yang dilaksanakan Februari 1998 dihebohkan dengan pernyataan yang dilontarkan Manajer Persikab Kab. Bandung, Endang Sobarna, tentang adanya permainan kotor di pentas Liga Indonesia yang melibatkan wasit.

Ketua Umum PSSI saat itu, Azwar Anas langsung membentuk tim pencari fakta untuk mengusut tuntas kasus mafia wasit. PSSI lantas menghukum Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI, Jafar Umar, dengan sanksi seumur hidup tak boleh terlibat di sepak bola nasional. Djafar terbukti terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan dengan melibatkan korps pengadil di lapangan.

Sebanyak 40 wasit Tanah Air juga masuk gerbong terdakwa dalam kasus match fixing. Beberapa di antaranya macam Khairul Agil, R. Pracoyo, Halik Jiro, terhitung sebagai figur top yang sering memimpin laga-laga besar Liga Indonesia.

Sosok almarhum Djafar Umar, yang berstatus sebagai wasit FIFA sejak lama diisukan jadi The Godfather mafia wasit. Ia dipergunjingkan menerima upeti dari para pengadil yang bertugas di pentas kompetisi profesional dan amatir.

 

Video

2 dari 4 halaman

Pungli Rp2 Juta

Ketua Komisi Wasit dan Inspektur Pertandingan PSSI, Amran YS, mengakui terus terang setoran rutin di antara para wasit sering terjadi. "Tapi rata-rata wasit yang saya temui mengaku uang itu bukan untuk keperluan negatif, tapi untuk memesan atau membeli baju wasit," kata Amran YS.

Tabloid Bola saat itu pernah melakukan investigasi untuk mencari tahu modus setoran mafia wasit. Didapat fakta ada oknum yang punya otoritas di bidang perwasitan meminta dana dengan jumlah tertentu. Didapat nomor rekening 4541-79000-2073-5704 (Citibank) yang mengarah pada sosok Djafar Umar.

Djafar tak hanya sering meminta uang ke klub, tapi juga para wasit yang ingin naik pangkat atau dapat penugasan dari PSSI. Angkanya menembus Rp2 juta.

"Oknum ini mewajibkan kami membayar punggutan liar Rp2 juta untuk ikut tes wasit FIFA di Malaysia. Saya bayar satu juta, yang akan dilunasi sisanya setelah kursus selesai," aku Totok Purwanto, wasit asal Jakarta.

Adang Ruchiatna, yang didapuk sebagai Tim Penanggulangan Masalah Perwasitan, sempat melaporkan kasus Jafar dkk. ke Polda Metro Jaya. Hanya saja pengusutan kasus di jalur hukum terhenti begitu Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi.

Dari hasil penyelidikan yang mencoreng wajah sepakbola nasional selama sebulan, diputuskan PSSI mengambil tindakan tegas dengan mengganjar hukuman 20 tahun kepada Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI, Djafar Umar dan memberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya, menyusul kasus kolusi wasit yang terkuak dalam tiga pekan terakhir ini.

Djafar selanjutnya dilarang terlibat dalam segala kegiatan sepak bola di lingkungan PSSI.

Sanksi untuk mantan wasit FIFA ini tertuang dalam Surat Keputusan PSSI, nomor Skep/ 06/II/1998 tertanggal 27 Februari 1998 yang ditandatangani Ketua Umum PSSI Ir Azwar Anas dan Sekum Nugraha Besoes.

Keputusan ini dikritik salah satu dedengkot sepak bola nasional, Andi Darussalam, yang kala itu menjadi Ketua Umum PS Jakarta Selatan.

"Saya kira tidak adil kalau hanya Djafar yang dijadikan korban. Rasanya semua pihak yang pernah terlibat secara langsung mau pun tidak langsung dengan kesalahan yang dilakukan Djafar, baik itu wasit, inspektur pertandingan, maupun pembina, seharusnya mau merenung dan introspeksi diri bahwa mereka ikut bersalah dalam menciptakan keadaan ini dan kini ternyata hanya Djafar seorang yang menjadi korban," ujar Andi.

Benarkah Djafar Umar otak dari mafia wasit di Liga Indonesia?

3 dari 4 halaman

Curhat Djafar dan Hukuman Penjara Nasiruddin

Pada tahun 2005, penulis sempat berjumpa dengan almarhum Djafar Umar, untuk mencoba mengorek kehidupan masa lalunya.

Semenjak dihukum skorsing selama 20 tahun, hidup Jafar benar-benar susah. Untuk membiayai hidupnya sehari-hari ia kerap meminta bantuan pengurus PSSI yang tetap mau menjadi sahabatnya usai terungkapnya kasus menghebohkan pada 1998 silam.

Saat ditanya benarkah tuduhan yang diarahkan kepada dirinya sebagai The Godfather para wasit, Jafar tertunduk sedih.

"Sedih saya kalau mengingat masa-masa itu. Saya ini siapa bisa mengatur kompetisi sebesar itu? Tapi saya bisa bilang apa? Saya diserang kanan-kiri sehingga tak berdaya," katanya.

Djafar membenarkan kalau dirinya kerap mendapat sesuatu dari para wasit. "Tapi itu bukan setoran yang ada kaitannya dengan pengaturan pertandingan. Itu bentuk terimakasih mereka kepada saya, karena merasa saya tunjuk sebagai wasit pemimpin pertandingan. Saya sendiri sering menolak, tapi mereka memaksa. Enggak ada embel-embel apa, murni hanya ucapan terimakasih ala orang Timur," tutur pria asal Makassar itu.

Yang bersangkutan tak menampik kalau memang ada pengaturan skor di Liga Indonesia. "Tapi saya tidak terlibat. Ada banyak oknum pengurus PSSI terlibat. Kalau saya bongkar bakal bikin heboh. Saya pribadi pasrah saja, dengan hukuman skorsing yang saya terima. Saya dikambinghitamkan. Tapi saat itu siapa yang mau mendengar suara saya? Saya sudah dihukum lewat pemberitaan media," papar Djafar.

Aib tentang mafia wasit di Liga Indonesia 1997-1998 kembali mencuat, ketika mantan pengadil asal Indonesia, Nasiruddin divonis hukuman penjara selama 30 bulan usai ditangkap Biro Investigasi dan Praktik Korupsi (CPIB) Singapura atas tuduhan kasus mafia sepak bola di ajang SEA Games 2015.

Nasiruddin diduga telah menawarkan uang sebesar 11 ribu dolar AS, atau sekitar Rp 147 juta agar Timor Leste mau sengaja mengalah dari Malaysia.

Setelah diusut lebih dalam ini bukan pertama kali Nasiruddin terlibat dalam kejahatan di dunia sepak bola. Ia juga terlibat dalam kasus mafia wasit pada 1998.

"Kejadian itu melibatkan 15 orang wasit. Ada yang dihukum lima, 10, 15, 20, dan 25 tahun. Nasiruddin termasuk orang yang mendapat hukuman terberat. Ketika itu, komite wasit Indonesia sedang dipegang oleh Jafar Umar. Harusnya peristiwa ini tidak diketahui orang. Tapi semuanya terkuak karena manajer Persikab "bernyanyi" berbicara ke media," beber mantan wasit FIFA asal Indonesia, Jimmy Napitupulu.

Menurut Jimmy, sistem di perwasitan Indonesia memang sedang bobrok ketika itu. Krisis ekonomi membuat para wasit jadi tak segan untuk menerima uang sogokan. "Situasi sangat mengkhawatirkan. Semua wasit yang ikut kursus pelatihan C1 pada 1997 diluluskan. Kenapa itu bisa terjadi? Semuanya karena uang sogokan," ungkap Jimmy.

Buruknya sistem di perwasitan Indonesia pula yang membuat Jimmy berhenti bekerja sebagai komite wasit PSSI. "Saya akhirnya merasa lelah setelah bertahun-tahun berkecimpung sebagai korps pengadil. Terlalu banyak kesalahan," katanya.

Kejahatan yang dilakukan Nasiruddin serta para wasit-wasit lainnya sebetulnya bisa dihindari. Asal, para pemangku kepentingan di sepak bola Indonesia mau memberi wasit dengan gaji yang layak.

Menurut pengakuan Jimmy, PSSI dan pengelola kompetisi tidak membayar gaji wasit sesuai standar yang ditetapkan AFC. "AFC itu menetapkan gaji wasit sebesar 500 dolar AS per pertandingan. Itu belum mencakup tiket pergi-pulang. Bagaimana di sini? Sudah tidak sesuai tarif, gaji wasit juga telat dibayar," kesal Jimmy.

 

 

4 dari 4 halaman

Kompetisi Dihentikan

Bicara soal Liga Indonesia 1997-1998, musim tersebut memang banjir persoalan. Kompetisi diawali dengan tidak ikut sertanya dua klub eks Galatama, Bandung Raya dan Assyabaab Surabaya, yang bangkrut.

Nugraha Besoes, Sekjen PSSI saat itu menyebut federasi tak bisa berbuat apa-apa dengan mundurnya kedua klub. "Mereka memang tak punya uang buat ikut kompetisi, enggak mungkin dipaksa," kata Nugraha.

Masalah lain mencuat, PT Cipta Citra yang menaungi rokok Dunhill dan Kansas mengundurkan diri dari kerja sama sponsorship dengan PSSI yang seharusnya berlangsung delapan musim.

 “Kami tak lagi di-support pihak Dunhill dan Kansas, dan kami kesulitan mendapatkan sponsor baru,” ujar Direktur Utama PT Cipta Citra Sports, Jeanette Sudjunadi, yang menjadi konsultan bisnis PSSI saat itu.

Ketua Bidang Usaha yang juga Wakil Bendahara PSSI, Andy Soema Di Pradja, memahami keluhan Jeanette karena ia ikut mendampingi CCS untuk mendapatkan sponsor dari LI IV pengganti.

Perusahaan rokok lainnya, Dji Sam Soe sudah sepakat untuk mensponsori, namun mendadak kondisi ekonomi Indonesia terpuruk (nilai tukar dolar AS melonjak hingga di atas Rp 8.000), membuat perusahaan-perusahaan tak berani mengumbar duit buat mensponsori event olahraga. 

Imbas situasi politik Indonesia memanas gara-gara krisis moneter, Liga Indonesia musim itu terpaksa dihentikan.

Mengutip Harian Kompas dan Tabloid Bola, Kapolda Jatim Mayjen (Pol) M. Dayat membatalkan pertandingan antara Persebaya Vs PSBL Bandarlampung 13 Mei 1998, karena situasi keamanan di Surabaya yang mencekam. Berikutnya, Arema Malang Vs Semen Padang di Stadion Gajayana Malang, serta di Gresik Petrokimia Vs PSM Makassar juga gagal digelar karena alasan yang sama. Di Yogyakarta partai PSIM Yogyakarta kontra PSMS Medan yang digelar Minggu, 17 Mei juga dibatalkan.

PSSI akhirnya menghentikan total seluruh kompetisi sepak bola di bawah naungannya menyusul belum pulihnya kondisi stabilitas politik dan keamanan di Tanah Air. Keputusan ini diambil setelah pengurus teras PSSI mencapai kesepakatan dengan para pengurus klub dan Komisariat Daerah (Komda) PSSI, Senin 25 Mei 1998 di Jakarta.

Menurut Sekum PSSI Nugraha Besoes, keputusan menghentikan total kegiatan kompetisi ini diambil setelah menimbang segala aspek, baik segi pembinaan sepakbola secara umum dan terutama aspek keamanan nasional yang belum pulih sepenuhnya.

Akibat situasi keamanan nasional yang makin memburuk, PSSI akhirnya menunda dan membatalkan seluruh kegiatan kompetisi sepak bola nasional. Kompetisi yang ditunda antara lain Liga Indonesia IV dan kompetisi Divisi I PSSI, serta Piala Nike.

Indonesia juga membatalkan diri sebagai tuan rumah Piala Tiger yang sedianya akan digelar bulan Agustus-September, di Jakarta.

Humas PSSI Tondo Widodo, mengungkapkan, keputusan tersebut diambil setelah serangkaian pembicaraan antara Ketua Umum PSSI Azwar Anas dan Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Fachrul Razi.

"Situasi keamanan yang belum terkendali saat ini dan dikhawatirkan akan makin besar jika kompetisi yang memungkinan konsentrasi massa, masih berlangsung. Liga Indonesia terpaksa dihentikan demi kepentingan bangsa yang lebih luas," kata Tondo.

Kasus-kasus yang terjadi di Liga Indonesia 1997-1998 ini akan selalu dikenang sebagai salah satu kepingan periode kelam sepak bola nasional. Semoga jadi pembelajaran kita bersama ke depannya.

Video Populer

Foto Populer