Sukses


Rochi Putiray dan Deretan Bintang Sepak Bola Indonesia yang Pernah Dipoles Arseto Solo

Bola.com, Solo - Kiprah Arseto Solo di era kompetisi Galatama dan Liga Indonesia memang menjadi kekuatan tersendiri dalam persepakbolaan Indonesia. Arseto Solo merupakan tim besar milik Keluarga Cendana, yang dikelola putra dari Presiden Soeharto, Sigit Harjoyudanto.

Tim ini awalnya bermarkas di Jakarta pada saat berdiri dan awal berkecimpung dalam kompetisi nasional. Sang pemilik klub membangun Arseto Solo sebagai klub besar dengan sederet prestasi gemilang.

Pada tahun-tahun awal berdiri, Arseto Solo kerap menembus final kompetisi hingga akhirnya menjadi juara Galatama musim 1991-1992. Arseto Solo juga sempat mewakili Indonesia di ajang Liga Champions Asia dan turnamen lain di kawasan ASEAN.

Tim Biru Langit ini menjadi kebanggaan masyarakat Solo. Stadion Sriwedari yang menjadi markas Arseto Solo pun menjadi saksi sejarah tim ini yang begitu disegani di era Galatama dan Ligina.

Sayangnya, tim ini harus bubar pada 1998, seiring kompetisi dibubarkan secara force majeure akibat situasi politik yang bergejolak dan lengsernya Presiden Soeharto. Meski sudah bubar, masih banyak yang menarik dari Arseto yang bisa dikupas, terutama para pemain yang pernah berkarier dan menjadi besar bersama tim terebut.

Berbicara mengenai pemain yang pernah ada di dalam tim, Arseto Solo pernah melahirkan nama-nama beken yang kemudian menjadi bintang. Tidak kalah dengan klub-klub sesama Galatama, seperti Warna Agung, Kramayudha Tiga Berlian, atau Niac Mitra.

Ricky Yakobi, Bambang Nurdiansyah, Eddy Harto, hingga Sudirman, merupakan pemain hebat pada masanya yang tidak bisa lepas dari Arseto Solo. Masih banyak pemain lain di Arseto Solo yang namanya meroket bahkan menembus Timnas Indonesia.

Berikut ulasan Bola.com tentang mereka yang pernah membela Arseto Solo dan kemudian menjadi pemain besar dalam sepak bola Indonesia.

Video

2 dari 5 halaman

Rochi Putiray

Bernama lengkap Rochi Melkiano Putiray, ia merupakan jebolan klub Arseto Solo pada era Galatama. Posisinya tidak tergantikan sebagai ujung tombak bagi klub kebanggaan wong Solo pada masanya.

Pria asal Ambon ini masuk jajaran legenda sepak bola nasional karena memiliki sederet prestasi membanggakan. Ia kerap dijuluki predator di kotak penalti lawan, sehingga dirinya menjadi satu di antara striker ganas yang pernah ada di Indonesia.

Rochi lahir di Ambon, Maluku, 26 Juni 1970. Arseto Solo adalah klub pertama setelah lulus dari Diklat Ragunan Jakarta. Ia cukup lama bermain di Arseto Solo. Selama 11 tahun ia mengabdi kepada klub kaya raya milik keluarga Cendana tersebut.

Sejak melakoni debut pada 1987, Rochi harus berpisah dengan klub berjulukan Biru Langit pada 1998. Atau seiring bubarnya tim Arseto karena peristiwa Mei 1998.

Prestasi tertingginya adalah saat membawa Arseto menjuarai kompetisi Galatama pada 1992. Selama berseragam Arseto Solo, pemain yang dikenal dengan gaya yang nyentrik ini berhasil mengemas 177 gol dari 219 penampilannya bersama Arseto.

3 dari 5 halaman

Agung Setyabudi

Pria asli Solo kelahiran 2 November 1972 ini malang-melintang di klub-klub besar Tanah Air. Setelah lulus dari Persis Solo Junior medio 1989-1990, Agung Setyabudi lantas masuk ke Diklat Ragunan.

Agung langsung direkrut Arseto setelah melihat potensinya dari program PSSI Garuda. Sebagai bek kanan, Agung begitu lugas setiap mengawal posisi kanan pertahanan timnya.

Arseto Solo menjadi klub profesional pertamanya dengan langsung membawa juara kompetisi Galatama pada 1992. Setelah enam tahun bermain untuk Arseto, ia hijrah ke PSIS Semarang menyusul bubarnya Arseto pada 1998.

Gelar juara Liga Indonesia 1999 langsung dipersembahkannya untuk PSIS. Bahkan ia turut andil dalam gol tunggal kemenangan Tugiyo ke gawang Persebaya di partai final. Bola pertama sebelum Tugiyo mencetak gol, adalah dari tendangan keras Agung.

Agung kemudian pindah ke Persebaya dan sempat kembali ke PSIS sebelum mengakhiri karier sebagai pesepak bola di Persis Solo pada 2007. Bersama Persis, dia membawa tim Laskar Sambernyawa jadi runner-up Divisi I 2006 sekaligus promosi ke Divisi Utama.

4 dari 5 halaman

I Komang Putra

Pria kelahiran Denpasar, 6 Mei 1972 ini merupakan kiper legendaris yang cukup disegani pada eranya. Pria bertinggi 175 cm memiliki pesona sebagai satu di antara kiper terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia.

IKP, begitu sapaan akrabnya, mengawali karier profesionalnya di Persija Jakarta pada 1992 silam. Bakat dan potensi besarnya tercium oleh klub kaya raya milik keluarga Cendana, Arseto Solo, dan memboyongnya pada 1994.

Ia pun menjadi kiper utama Arseto sampai klub tersebut bubar pada 1998. Ia banyak belajar dari barisan penjaga gawang hebat yang dimiliki Arseto saat itu, seperti Eddy Harto atau Benny van Breukelen.

Potensi dan kemampuannya terus terasah hingga posisinya di Arseto sulit tergantikan. Hanya saja Arseto harus bubar pada 1998, yang lantas membuatnya bersama sejumlah rekan setim di Arseto, eksodus ke PSIS Semarang pada 1999, seperti Agung Setyabudi, Bonggo Pribadi, dan Ali Sunan.

Kepindahannya ke PSIS membuat kariernya semakin melejit. Gelar juara Liga Indonesia dipersembahkannya dengan menumbangkan Persebaya di partai final.

5 dari 5 halaman

Indriyanto Nugroho

Satu di antara pemain lawas Indonesia yang penuh dengan potensi. Ia lahir dan besar di Sukoharjo. Kultur sepak bola Kota Solo pun akrab dengannya, hingga membuat dirinya ikut Diklat Arseto.

Bakatnya makin terasah setelah Indriyanto Nugroho mengenyam pengalaman dalam program PSSI Primavera pada 1995-1996. Ia menjadi pusat perhatian dengan pemberitaan transfer hanya dengan nilai Rp100, saat direkrut Pelita Jaya dari Arseto Solo pada 1996-1997.

Saat itu, dua klub Galatama tersebut berebut untuk memakai jasanya sepulang dari Italia dalam program Primavera. Terjadi perseteruan antara Arseto dan Pelita Jaya.

Arseto akhirnya mau melepas pemain yang karib disapa Nunung dengan nilai transfer yang tak masuk akal, yakni Rp100. Ini merupakan rekor transfer termurah dalam sejarah sepak bola modern sampai saat ini.

Kabar tersebut pun membuat dirinya dicap sebagai 'mister (Mr) cepek', karena direkrut dengan nilai 100 rupiah pada masa itu. Terlepas dari hal tersebut, Nunung pernah dipoles Arseto, yang kemudian membuatnya sukses di persepakbolaan nasional.

Video Populer

Foto Populer