Sukses


Bung Karno dan 6 Tokoh Bangsa Indonesia dengan Darah Sepak Bola: Filosofi dan Perjuangan

Bola.com, Jakarta - Bagi Indonesia, sepak bola tak hanya sekadar olahraga 11 melawan 11. Sejak zaman penjajahan Belanda, sepak bola telah mewarnai kehidupan rakyat Indonesia.

Tokoh-tokoh nasional pun pernah bergelut dengan si kulit bundar, entah itu bermain hingga menjadi pengurus. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, juga berkontribusi pada sepak bola Indonesia setelah merdeka.  

Timnas Indonesia meraih medali perunggu pada Asian Games 1958 di Tokyo. Ini merupakan satu-satunya medali bagi tim merah putih sepanjang sejarah.

Laporan seleksi dan pertandingan Timnas Indonesia ini dimuat di rubrik Brainplayer Indonesia No 1 di satu harian terbitan tahun 1958 dan koran Harian Umum tahun 1954-1958.

Perjalanan tim Garuda meraih perunggu pada pesta olahraga Asia itu diawali dengan hubungan diplomatik Indonesia dengan Yugoslavia pada era kepemimpinan Presiden Soekarno. Lewat relasi itu, Indonesia mendatangkan pelatih Yugoslavia, Antun ‘Toni’ Pogacnik pada 1954.

Pada era itu, Indonesia dan Yugoslavia sangat mesra dan menggalang kekuatan di dunia ketiga. Presiden Soekarno dan pemimpin Yugoslavia, Josip Broz Tito, sangat mendukung kedatangan Toni. Mereka yakin olahraga bisa menjadi wadah bagi kedua negara untuk bertukar pikiran dan bersahabat.

Jika Soekarno punya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), Tito dengan Socialist Federal Republic of Yugoslavia (SFRY). Mereka juga pemimpin yang menjadi pelopor Gerakan Non Blok. Soekarno dan Tito pun punya pandangan dan basis masa yang sama, serta prinsip loyalitas dan kerja keras.

Berkat diplomasi Soekarno, Timnas Indonesia meraih prestasi yang belum disamai hingga sekarang. Selain Soekarno, ada banyak lagi tokoh nasional yang memberikan sumbangsih bagi sepak bola. Siapa saja?

Video

2 dari 7 halaman

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta dikebal sebagai organisator ulung. Di sepak bola, Bung Hatta pernah terjun di perkumpulan sepak bola Padang, Young Fellow. Hatta yang masih belia (seumuran pelajar SMP), mengenal sepak bola. 

"Setiap sore pukul 17.00 WIB, aku sudah berada di tanah lapang. Kalau tidak bertanding sebelas lawan sebelas, kamis berlatih menyepak bola dengan tepat ke gawang," tulis Bung Hatta di buku Bukittinggi-Roterdam lewat Betawi. 

Bung Hatta awalnya hanya menjadi pemain. Namun, lama-kelamaan, ia didapuk masuk organisasi menjadi pengurus Swallow. 

"Aku dipilih menjadi bendahara dan diminta merangkap jadi penulis," tulisnya.

Saat di MULO Padang, Bung Hatta dikenal sebagai pemain yang tangguh, tak mudah ditembus lawan. Ia juga bermain di JBS (Jong Sumatranen Bond), dan menjadi striker.

Sepak bola juga menemari hari-hari Bung Hatta ketika diasingkan oleh Belanda di Banda Neira. 

3 dari 7 halaman

Tan Malaka

Melalui sepak bola, Tan Malaka ingin mengangkat derajat bangsa Indonesia. Sama seperti Bung Hatta, Tan Malaka juga menggocek si kulit bundar di tanah kelahirannya, Sumatra Barat.

Ketika menuntut ilmu di Harleem, Belanda, Tan Malaka juga tetap bermain sepak bola. Saat itu, ia bergabung dengan klub Vlugheid. Posisinya adalah sebagai striker. 

Tan Malaka juga mengangkat sepak bola ke dalam filosofi hidup.

"Apabila kita menonton pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana yang masuk kumpulan ini. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak," tulis Tan Malaka di karyanya yang populer, Madilog.

4 dari 7 halaman

Mohammad Husni Thamrin

Mohammad Husni Thamrin, tokoh pergerakan nasional berdarah Betawi. 

Satu di antara perjuangan Thamrin ialah mengajukan mosi tentang penggunaan kata-kata Indonesia, Indonesisch, Indonesier sebagai pengganti Indie, Nederland Indisch, dan Inlander, dalam undang-undang, ordonasi, dan sebagainya.

Husni Thamrin merupakan politisi yang sangat peduli dengan masyarakat Betawi. Tentu saja, ia juga berkiprah di Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), klub sepak bola yang menjadi cikal bakal Persija.

Sebagai bentuk kepedulian dengan VIJ, Thamrin dan tokoh-tokoh lain merenovasi lapangan sepak bola di Pulo Piun, Petojo.

5 dari 7 halaman

Maladi

Nama Raden Maladi adalah salah satu nama yang mengemuka jika berbicara sepak bola Indonesia era kemerdekaan. Ia bisa disejajarkan dengan Soeratin Soesrosoegondo dan Maulwi Saelan sebagai figur-figur dari sepak bola yang berjasa pada kemerdekaan Indonesia.

Dalam melawan penjajah Belanda, Maladi tercatat sebagai salah satu komandan dalam Pertempuran Empat Hari di Solo, Agustus 1949. Maladi sendiri kemudian mendapat pangkat kapten saat tentara nasional bertransformasi jadi TNI.

Menteri Pemuda ditiadakan pada kabinet RIS hingga Kabinet Kerja IV. Posisi ini muncul kembali pada kabinet Dwikora dengan nama Menteri Olahraga.

Maladi kemudian ditunjuk sebagai Menteri Olahraga dari Kabinet Dwikora I hingga Dwikora III. Ia pernah bermain sebagai penjaga gawang timnas Indonesia dan pernah menjabat Ketua Umum PSSI 1950-1959.

6 dari 7 halaman

Soeratin Sosrosoegondo

Sosok Soeratin Sosrosoegondo memainkan peran penting di balik berdirinya PSSI pada 1930.

Soeratin terpilih sebagai ketua PSSI pertama. Pada masa kepemimpinanya, dia berusaha membangun sepak bola Indonesia.

Soeratin juga sempat bersitegang dengan Nederlandsche Indische Voetbal Unie (NIVU), organisasi sepak bola milik Belanda yang ketika itu masih menduduki Indonesia (sebelumnya bernama NIVB), terkait pengiriman wakil ke Piala Dunia 1938.

7 dari 7 halaman

Maulwi Saelan

Maulwi Saelan adalah pemain yang paling lama menjadi kapten semasa Antun Pogacnik melatih Timnas Indonesia.

Dalam laporan majalah Aneka, pemain kelahiran Makassar, 8 Agustus 1926, itu lebih dari 20 kali menjadi kapten pada ajang internasional, sejak bergabung bersama skuad Merah-Putih pada 1951 sampai 1959.

Posisinya sebagai penjaga gawang juga tak tergantikan. Tempatnya di bawah mistar gawang Indonesia baru tergeser ketika Maulwi harus sibuk dengan pendidikannya dan bergabung dengan Angkatan Darat. 

Video Populer

Foto Populer