Sukses


Boxing Day Match, Pengorbanan Atlet untuk Menghibur Publik?

Bola.com, Jakarta Meskipun sudah berulang kali disuarakan usul untuk menghapus agenda pertandingan di Liga Premier, dan Liga Inggris secara umum, pada periode Natal dan Tahun Baru; hingga 2019 ini ternyata tradisi Boxing Day dan New Year’s Eve Match terus dilakukan. Ada yang bilang ini adalah salah satu bentuk “perbudakan atlet profesional di era modern”. Come on.. jangan lebay ah... Tradisi ini sebenarnya terbentuk karena kesepakatan mutual antara publik dan stake holder sepak bola di Inggris. Lagi pula, mana ada “budak” yang dibayar sangat mahal seperti para atlet profesional itu?

Untuk meletakkan Boxing Day dalam prespektif yang proporsional, penulis ingin mengajak pembaca melihat sejarah dan makna fungsi sepak bola sebagai sebuah katup pengaman sosial di Inggris. Dalam sejarahnya, budaya tersebut muncul karena beberapa fenomena penamaan jadwal pertandingan di setiap tanggal 26 Desember di beberapa kasta teratas liga Inggris dan juga karena adanya kebutuhan hiburan yang bersifat massal di sana pada periode tersebut.

Beberapa literatur menyebut Boxing Day terkait dengan fakta bahwa setelah warga merayakan misa atau perjamuan Natal di gereja dan rumah-rumah pada 25 Desember, sehari setelahnya mereka berseliweran di pusat-pusat keramaian untuk saling berkunjung dengan membawa boks-boks hadiah guna dipertukarkan sebelum kemudian akhirnya “massa Natal” ini bersama-sama mengunjungi stadion.  

2 dari 3 halaman

Penyaluran Agresi dan Kebutuhan Simulasi Pertempuran

Pada sisi lain, ada pula sumber yang menyebut bahwa penyebutan Boxing Day muncul sejalan dengan tradisi peletakan boks-boks untuk mendonasikan uang sebagai aksi sosial untuk kaum berkekurangan di pintu-pintu masuk stadion di periode 26 Desember hingga menjelang tahun baru.

Well, manapun yang benar soal asal muasal penamaan ini pada akhirnya kita bermuara pada satu pertanyaan, “Kok bisa ada pertandingan sepak bola di masa-masa Natal dan Tahun Baru di Inggris? Apakah ada orang yang bakal menonton dan apa para pemain dan pelatih tidak berlibur?”

Jawaban untuk pertanyaan ini ada dalam konteks sepak bola di Inggris dalam fungsinya sebagai katup pengaman sosial yang sudah saya sebutkan di atas. Sebagai bangsa yang bermoyangkan pelaut berdarah panas dan cenderung mengandalkan bahasa otot nan agresif dalam berkomunikasi, orang Inggris butuh sebuah kebiasaan komunal untuk berkumpul dan menyalurkan agresi mereka ke dalam simulasi pertempuran dalam bentuk sepak bola.

Pada praktiknya, agresi ini bisa dimoderasi melalui jamuan teh sore di teras rumah dengan gestur gaya aristokrat, namun dominasi cara hidup kelas pekerja di Inggris justru lebih diwarnai dengan cara meredakan ketegangan syaraf lewat jalur mengkonsumsi bir di bar-bar pada pusat kota ketimbang menyeruput teh.

Pada 3-5 hari dalam sepekan mayoritas dari mereka sudah terjebak dalam rutinitas pekerjaan dan kebiasaan untuk bergerak di jalur transportasi bawah tanah dengan kereta. Interaksi di jalan raya, trotoar, hingga sekolah atau perkantoran hanya melibatkan segelintir orang saja. Setiap akhir pekan atau pertengahan pekan pun akhirnya menjadi “momen surgawi” bagi mereka untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan komunitas sekitar di dalam stadion dengan menonton sepak bola.

3 dari 3 halaman

Mudik Justru ke Ibukota

Ketika festive periods seperti Natal dan Tahun Baru tiba, kebutuhan untuk menonton sepak bola tidaklah surut bahkan meluas karena tidak hanya para fans yang rutin saja yang memburu tiket, melainkan juga dilakukan penonton musiman seperti para kaum lanjut usia dan anak-anak yang membutuhkan hiburan bersifat massal. Itulah sebabnya dalam paket tiket terusan alias karcis berlangganan per musim biasanya klub-klub tidak menyertakan tiket pertandingan di periode panen penonton tersebut di dalamnya. Walhasil, tiket periode ini dijual terpisah. 

Pada peralihan dari 2019 ke 2020 ini, saya mendapati setidaknya ada empat duel yang tiketnya amat dicari pada Boxing Day, yaitu antara Tottenham vs Brighton, Chelsea vs Southampton, Manchester United vs Newcastle, dan Wolverhampton vs Manchester City. Terlihat di sini bahwa dua di antaranya adalah pertandingan yang berlokasi di London, sebagai kota pusat tujuan wisata utama Natal dan Tahun Baru di United Kingdom.

Fakta bahwa lebih banyak wisatawan mancanegara dan domestik yang “mudik” ke ibukota alih-alih pulang kampung itu jugalah yang membuat industri bola di Inggris tetap berjalan tanpa secara seragam diwarnai gangguan keluhan para pemain dan keluarganya. Ya, banyak pemain top di Inggris justru tidak kehilangan momen berkumpul dengan keluarga besar lantaran kerabat mereka justru datang menonton ke kandang klub di mana mereka bermain.

Meskipun begitu, harus diakui tidak semua atlet sepak bola profesional dan keluarganya di Inggris cukup beruntung sehingga tetap kehilangan suasana liburan lantaran mereka tetap harus bekerja guna menyajikan hiburan kepada publik. Ingat, jatah liburan mereka pun tidak tergantikan lantaran saat roda kompetisi di negara lain tengah menjalani jeda di winter dan kembali bergulir di awal tahun, kompetisi sepak bola di Inggris justru terus berlanjut hingga musim panas.

Pada 1 Januari 2020 misalnya, Chelsea justru sudah harus bertandang lagi ke kandang Brighton dan beberapa penggemar The Blues yang turut melakoni perjalanan tersebut pastinya berharap sang klub kesayangan meraih tiga angka penuh sebagai hadiah tahun baru.

Kepada The Guardian, kapten Chelsea asal Spanyol, Cesar Azpilicueta, menyebut tidak ada penyesalan sedikitpun baginya untuk bermain di Liga Premier dengan segala tuntutan jadwalnya yang unik karena ia tidak melihat sepak bola sebagai pekerjaan tapi sebagai cara dia hidup dan mengekspresikan diri. Ketika seorang atlet berpikir demikian, rasanya tidak perlu ada kata “pengorbanan” dalam kamusnya bukan? Ada kesenangan yang muncul dalam hati saat kita menyenangkan penonton. Merry Christmas pembaca, dan selamat menyambut 2019!

*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.

Video Populer

Foto Populer