Sukses


3 Alasan Frank Lampard Bakal Nihil Gelar Musim Depan walau Skuat Chelsea Berlabel The Dream Team

Bola.com, Jakarta - Chelsea menyudahi musim ini dengan pencapaian minimalis, tanpa gelar. Terakhir pada Sabtu (1/8/2020) di Stadion Wembley, The Blues takluk 1-2 dari Arsenal di final Piala FA. Kekalahan yang jadi puncak kegagalan anak asuh Frank Lampard.

Di pentas Premier League, Chelsea hanya bertengger di posisi empat besar. Padahal tiga musim lalu, mereka berstatus kampiun. Tepatnya di era kepemimpinan Antonio Conte. Di rezim Maurizio Sarri, musim lalu Chelsea sukses mempersembahkan trofi Liga Europa.

Peluang Chelsea menutup musim ini sejatinya masih terbuka. Mereka masih bersaing di pentas Liga Champions. Namun, kans untuk melaju ke perempat final bisa dibilang tipis. Chelsea kalah 0-3 pada leg pertama babak 16 besar melawan Bayern Munchen.

Bukan bermaksud mengecilkan kapasitas Frank Lampard. Ia pelatih muda berbakat. Gaya bermain Chelsea di bawah kendalinya amat atraktif, menyerang, agresif, dan tajam.

Guna menebus kegagalan musim ini Frank amat agresif di bursa transfer musim panas ini. Chelsea sudah mendatangkan dua pemain: Hakim Ziyech dan Timo Wagner.

Selangkah lagi mereka juga bakal menggaet playmaker Bayern Leverkusen, Kai Havertz. Belanja pemain tidak berhenti sampai di situ. Lampard masih akan mendatangkan kiper baru plus bek untuk menambal kelemahan lini belakang. Skuat Chelsea bisa dibilang The Dream Team.

Namun, upaya Lampard mengembalikan Chelsea ke jalur juara bakal berliku. Ada beberapa hal esensial berkaitan dengan sang pelatih yang bisa menghambat langkah Chelsea memenangi gelar pada musim depan. Apa-apa saja?

Video

2 dari 4 halaman

Kurang Pragmatis

Mentor Frank Lampard, Jose Mourinho saat menjadi pundit Sky Sports pernah melontarkan kritik terbuka ke mantan anak asuhnya tersebut. Ia menyebut Frank kurang cerdik membaca situasi permainan, terutama saat menghadapi laga besar yang sifatnya krusial.

Frank terlalu terobsesi dengan permainan menyerang. Ia lupa terkadang, sebuah tim harus pragmatis menyikapi sebuah big games. Pernyataan Jose kala itu mengacu pada rentetan hasil buruk yang didapat Chelsea saat menjajal sesama papan atas Premier League.

"Saya melihat Chelsea memiliki masalah untuk memenangi laga besar. Frank semestinya menyadari, ia harus bersikap lebih pragmatis, menyesuaikan dengan karakter permainan lawan," ucap Jose.

Jose bisa jadi benar. Entah kenapa setiap kali menghadapi big match Chelsea selalu keok. Tengok saja pada pengujung tahun lalu saat mereka kalah 1-2 melawan Manchester City di pentas Premier League.

Chelsea menguasai jalannya pertandingan. Hal ini jarang terjadi, mengingat City di tangan Pep Guardiola dikenal sebagai rajanya penguasaan bola. Bermain terbuka berimbas buruk, gawang Chelsea dengan mudah ditembus kubu lawan yang bermain sangat tajam.

Pada pertandingan final Piala FA situasinya hampir sama. Chelsea yang sempat unggul gol, tetap memaksakan diri bermain terbuka. Mereka lupa punya persoalan di sektor belakang. Lihat bagaimana saat The Blues dibantai Liverpool 2-5 baru-baru ini. Permainan ofensif Chelsea berbuah malapetaka.

Problematik ini terus berulang, dan Frank Lampard seperti tak menyadari kesalahannya. Egonya terlalu besar.

3 dari 4 halaman

Punya Kecenderungan Berselisih dengan Anak-asuh

Frank Lampard dikenal sebagai sosok yang tempramental. Ia kerap berselisih dengan pemainnnya sendiri yang ia nilai performannya tak sesuai harapannya.

Sebut saja dengan Kepa Arrizabalaga. Sang kiper kinerjanya kerap dikritik sang mentor. Tanpa memperhatikan perasaannya anak buahnya, Frank Lampard sibuk mencari penjaga gawang baru.

Padahal, bicara kualitas teknik, Kepa merupakan kiper utama Timnas Spanyol. Ia sukses menyingkirkan David De Gea. Ia bahkan berstatus kiper termahal dunia.

Tak terlihat upaya Frank membantu Kepa keluar dari tekanan psikologis. Di awal musim isu sang manajer terlibat perang dingin dengan stiker gaek, Oliver Giroud, mencuat. Giroud gelisah karena tak kunjung dapat jam terbang bermain. Padahal, striker muda Tammy Abraham kinerjanya merosot, tak benar-benar tajam.

Gelandang bertahan, N'Golo Kante, rumornya juga jengah dengan Frank Lampard.

Sifat tempramental Frank agaknya menurun dari gurunya, Jose Mourinho. Tak hanya doyan terlibat konflik dengan pemainnya sendiri, ia juga kerap konfrontasi dengan tim lawan.

Tengok saat ia bersitegang dengan Jurgen Klopp. Frank mengeluarkan penyataan gegabah menyebut Liverpool arogan dan sombong.

Sifat tempramen sang juru latih kerap mengganggu konsentrasinya sendiri saat memimpin para pemainnya. Ia kerap melakukan blunder karena kurang tenang mengambil keputusan.

4 dari 4 halaman

Strategi yang Monoton

Permainan Chelsea di era Frank Lampard enak ditonton. The Blues bermain menyerang dan atraktif. Namun, aksi mereka seringkali tak terkonversi langsung dengan hasil akhir pertandingan.

Stategi menyerang Frank Lampard terlalu gampang ditebak. Chelsea bermain dengan formasi dasar 4-3-3 atau 3-4-3 yang sembrono.

Pemain-pemain Chelsea seringkali terlalu asyik menyerang, lupa membentengi diri. Mereka selalu mati kartu ketika melakukan transisi menyerang ke bertahan. Menghadapi tim-tim cepat macam Liverpool, Manchester City, dan Manchester United, The Blues selalu kalah dengan cara sama.

Gol-gol kubu lawan selalu diawali dengan saat mereka kehilangan bola saat ada di area pertahanan lawan, kemudian kelabakan dengan kecepatan lawan melakukan serangan balik.

Rapuhnya pertahanan Chelsea agak mengherankan, mengingat 10 tahun terakhir klub satu ini dikenal sebagai tim dengan pertahanan terbaik di Premier League.

Sumber: Berbagai sumber

Video Populer

Foto Populer