Sukses


    Kolom Edwin Setyadinata: Jangan Salahkan Tim yang Bermain Bertahan di Piala Dunia 2018

     

    Kolom Edwin Setyadinata, Presenter Sepak Bola Indonesia dan Internasional yang Tergabung Dalam Garuda Football Indonesia Agency & Sports Management SAYA bukan pelatih, juga bukan pemain sepak bola pro, saya hanyalah seseorang yang dilahirkan dan ditakdirkan sangat mencintai yang namanya sepak bola. Piala Dunia 2018 adalah World Cup ke-7 yang saya nikmati sebagai pencinta berat sepak bola.

    FIFA sebagai organisasi tunggal yang menaungi gawean ini tentu juga sudah meakukan banyak terobosan untuk membuat event ini semakin menarik bahkan sudah mulai bergeser hingga yang namanya keadilan dalam sepak bola melalui teknologi teranyarnya yaitu VAR.

    Tapi maaf, saya cenderung ingin membahas sesuatu yang lebih menarik yaitu perkembangan cara main dari sisi strategi dan taktikal secara umum.

    Tersingkirnya Jerman banyak yang menghubungkan dengan kutukan juara bertahan. Saya secara pribadi tidak pernah percaya dengan hal ini meskipun terjadi secara beruntun sejak 2002.

    Waktu aktif bermain di Liga Mahasiwa 1998, pelatih saya pernah berteriak “manfaatkan lebar lapangan”, atau "berani pegang atau kuasai bola."

    Tapi sadarkah dalam beberapa tahun ini justru lapangan kian terasa sempit? Apa yang terjadi? Apa ukuran lapangan berubah? Atau tidak sesuai standar FIFA? Rasanya tidak. Lantas lalu apa yang membuat lapangan kian terasa sempit?

    Dalam dua event besar terakhir yaitu Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 laporan TSG (technical study group) dari dua event besar tersebut secara statistik data dan fakta bahwa gol yang dihasilkan lebih banyak tercipta dari transisi cepat dalam melakukan serangan balik!

    Kecuali Jerman dengan sepak bola modernnya yang berhasil menjuarai Piala dunia 2014 namun Portugal dengan gaya pragmatisnya mampu mengunci Prancis di final Euro 2016 dengan menjadi juara yang mebuat Lionel Messi susah tidur nyenyak saat itu.

    Maklum, sang bintang Timnas Argentina belum sekalipun memenangi ajang bergengsi, sementara Ronaldo di Portugal sudah dapat satu trofi bergengsi: Piala Eropa.

    Sering ada pertanyaan dalam diri saya, apakah era sepak bola ball possesion telah meredup? Saya tidak yakin, namun juga bukan berarti tidak setuju.

    Dalam sebuah obrolan seru dengan pelatih senior Tanah Air, Danurwindo, kami membahas bahwa secara sederhana atau secara garis besar sepakbola adalah permainan transisi. 

    Permainan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: transisi menyerang dan transisi bertahan. Kecenderungan tim saat ini (selain Spanyol, Jerman, Brasil, dan Argentina) lebih fokus untuk melakukan transisi bertahan secara rapi. Istilah populer di dunia sepak bola adalah compact defence.

    2 dari 2 halaman

    Diskusi dengan Johan Cruyff

    Strategi permainan aplikasinya tidak memberikan ruang sedikitpun bagi lawan untuk bisa berkreasi di sepertiga lapangan akhir (area pertahanan tim).

    Ini membuat tim-tim yang mendominasi pertandingan sangat kesulitan untuk mencetak gol, sehingga terkadang mereka sampai harus menggeber strategi longball atau bahkan crossing karena sudah mati akal atau buntu melakukan kreativitas.

    Istilah parkir bus sempat ngetop di era Jose Mourinho. Tapi apakah istilah ini sekedar menumpuk pemain belakang saja? Jika Anda tidak menguasai organisasi pertahanan secara rapi pasti juga akan kebobolan.

    Konsentrasi melihat pergerakan pemain lawan, reading the game serta kecerdasan intelektual dalam pengambilan keputusan khususnya soal sapuan, tekel, dan blok semuanya menjadi satu kesatuan untuk membuat lini pertahanan menjadi solid dan kuat.

    Dengan mengkombinasikan kesemuanya dengan baik secara otomatis tim lawan perlahan akan putus asa dan kemudian lengah. Ruang membobol pertahanan mereka terbuka dengan strategi serangan balik cepat.

    Counter attack cepat untuk mencetak gol juga bukan hal yang mudah. Anda harus punya akurasi momentum yang pas dalam mengirimkan umpan cepat langsung menuju ke pemain yang bisa menjadi perbedaan.

    Hal ini kudu sering dilatih dalam gim situasi. Ada istilah killer pass, magic pass, atau counter attack is one of magic moment in football menggambarkan serangan balik mematikan yang membuat kubu lawan terkapar.

    Apakah salah main bertahan? Apakah bertahan bukan sebuah taktikal khusus? Bagaimana dengan tim yang bertahan tapi bisa mencetak gol dan menang?

    Saya tidak ingin berdebat disini soal gaya sepakbola apa yang lebih baik, karena strategi dan taktik untuk menang adalah anda harus bisa mencetak gol, mencetak gol banyak cara yang bisa dilakukan lewat sebuah permainan.

    Salah satu cita-cita saya yang belum dan bahkan tidak akan kesampaian adalah mengobrol soal totaal voetbal dengan Johan Cruyff. Jujur saja saya ingin sekali mendengar pendapatnya soal gaya atau evolusi taktik sepak bola sekarang darinya secara langsung.

    Pada akhirnya tim yang bermain seperti apakah yang akan menjadi juara di Piala Dunia kali ini? Apakah tim yang berhasil memaksimalkan compact defence dengan counter attack mematikan? Atau justru tim dengan gaya ball possesion yang dikombinasikan dengan skill individu untuk bisa melewati dua bahkan sampai tiga pemain lawan?

    Ahh mari nikmati serunya Piala Dunia kali ini dengan lebih dari sekedar mencari kalah menangnya saja, meskipun saya rindu dengan aksi tim yang bermain dengan gaya ultra ofensive dan ball possesion tapi dimotori oleh tiga pemain seperti yang diusung legenda Belanda almarhum, Johan Cruyff.

    Mari kita tunggu fase gugur babak 16 besar yang sudah didepan mata. Enjoy!

     

    Video Populer

    Foto Populer