Sukses


Feature: Menanti Kejutan dari Luar Kekuatan Tradisional

Bola.com - Kejuaraan Dunia BWF 2015 memang sudah berakhir sejak 16 Agustus lalu. Selama sepekan berlangsung di Istora Senayan, Jakarta, empat dari lima juara bertahan sukses mempertahankan gelarnya.

Dimulai dari ganda campuran Tiongkok, Zhang Nan/Zhao Yunlei, lalu diikuti tunggal putri Spanyol, Carolina Marin, tunggal putra Tiongkok, Chen Long, dan diakhiri ganda putri Tiongkok, Tian Qing/Zhao Yunlei. Sementara gelar juara dunia ganda putra menjadi milik wakil tuan rumah, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.

Menilik hasil akhir, bisa dibilang tidak ada kejutan berarti yang muncul di Istora. Namun, bila bicara perjalanan dari hari ke hari, banyak fakta menarik tersaji. Terutama dari para pemain yang berasal dari negara-negara di luar kekuatan tradisional.

Tak bisa dimungkiri, seusai keberhasilan Marin memenangi gelar Juara Dunia 2014, bulutangkis di luar kekuatan tradisional, seperti Tiongkok, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan Denmark, kian menggeliat. Lantas, apa faktor kunci yang membuat pergeseran dominasi, khususnya di nomor tunggal putri, bisa terjadi?

Perubahan Pola Pikir

Dari perbincangan singkat Bola.com dengan mantan pebulutangkis tunggal putra Denmark yang kini menjabat Performance Director tim nasional Prancis, Peter Gade, kesimpulan yang dapat diambil ialah perubahan pola pikir alias mindset. Gade mengakui banyak perubahan psikologis yang terjadi di pemain-pemain Prancis sesudah dia menjabat.

“Kini, mereka jadi lebih punya keyakinan dan keinginan untuk menang,” tutur Gade.

Argumen Gade terlihat jelas di lapangan. Sebelum dia menangani Tim Ayam Jantan, pemain-pemain Prancis tercatat selalu keok sejak babak pertama Kejuaraan Dunia.

Namun tidak pada Kejuaraan Dunia BWF 2015. Kendati belum sampai tahap bicara banyak, setidaknya dua pasangan ganda Prancis, Baptiste Careme/Ronan Labar dan Delphine Lansac/Emilie Lefel, sempat merepotkan lawan-lawannya, yang berstatus unggulan.

Ganda putra andalan Indonesia, Ahsan/Hendra, salah satunya. Berjumpa di babak kedua, Ahsan/Hendra harus melewati pertarungan sengit selama tiga gim, 19-21, 21-17, dan 21-18, sebelum mengamankan tempat di babak ketiga.

“Permainan mereka sungguh merepotkan. Kami juga sedikit kaget dengan permainan mereka yang di luar dugaan kami,” kata Ahsan.

Situasi serupa juga dirasakan ikon global bulutangkis asal Tiongkok, Lin Dan, saat meladeni wakil Brasil, Daniel Paiola, di babak kedua. Tak disangka-sangka, Paiola cukup bisa mengimbangi permainan Lin Dan.

Alhasil, setelah bertanding selama 41 menit, Paiola cuma kalah 14-21, 14-21. Jauh lebih baik daripada rapor skor unggulan ke-14 asal Denmark, Hans-Kristian Vittinghus, yang menjadi lawan Lin Dan di babak ketiga. Menghadapi Lin Dan, Vittinghus kalah 9-21, 13-21.

“Rasanya seperti mimpi bisa bermain di sini (Istora), melawan Lin Dan pula. Walau hanya sampai di babak kedua, ini adalah turnamen terbaik yang pernah saya ikuti,” ucap Paiola.

Daniel Paiola

Pernyataan Paiola tersebut terbilang wajar. Apalagi bila mengingat latar belakang negara asal Paiola yang notabene lebih mendewakan sepak bola sebagai olah raga utama.

Tapi, keterbatasan itu tidak menghalangi Paiola menuntaskan mimpi-mimpi terbesarnya. Setelah pada 2010 sempat bertanding melawan Peter Gade, tahun ini Paiola berhasil memenuhi hasratnya menjajal permainan Lin Dan. Padahal, untuk tiba ke Istora, Paiola harus rela merogoh koceknya sendiri.

“Bulutangkis di Brasil masih jauh dari kata populer. Dukungan finansial dari pemerintah kami juga tidak banyak. Sebelum berangkat ke sini, saya dan teman-teman di pelatnas ditanya begini, ‘Ini ada bujet untuk kalian, tapi pilihannya adalah ikut dua turnamen lain atau satu kejuaraan dunia. Kalian pilih yang mana?’” ungkap Paiola.

“Tentu saja, saya dan teman-teman pelatnas lain memilih ikut dua turnamen lain. Tapi, saya tetap ke sini dengan biaya sendiri. Sementara dua teman saya, urung ke sini karena mereka tidak sanggup membiayai perjalanan,” lanjutnya dengan nada sedih.

Program Wajib Sekolah

Berbeda dengan Brasil yang masih memandang sebelah mata permainan bulutangkis, Kanada justru sudah menetapkan bulutangkis sebagai program olah raga wajib sekolah. Dijelaskan pemain tunggal putra Kanada, Martin Giuffre, saat ini, semua anak-anak yang bersekolah dasar (SD), menengah pertama (SMP), dan menengah atas (SMA) sudah mengenal olah raga bulutangkis.

Martin Giuffre

“Pemerintah negara kami sangat mendukung cabang-cabang olah raga yang tidak populer, seperti bulutangkis. Lewat program ini juga bulutangkis di Kanada mengalami pertumbuhan signifikan,” papar Giuffre.

“Tapi, untuk berkompetisi di level profesional, kami tetap harus mencari sponsor sendiri. Meski sedang berkembang, mayoritas warga Kanada masih menganggap bulutangkis sebagai olah raga rekreasi. Mereka bahkan selalu terkagum-kagum setiap kali mengetahui bahwa profesi saya sekarang ialah pemain bulutangkis,” sambungnya.

Sebagai negara yang bertetangga dengan Amerika Serikat dan beriklim dingin, Kanada memang lebih mengenal olah raga musim dingin, seperti hoki es, ketimbang olah raga musim panas, semisal bulutangkis.

Hal ini tidak dibantah Giuffre. Dia bahkan mengaku lebih dulu bermain hoki es sebelum mengenal bulutangkis.

“Saya harus berterima kasih kepada pahlawan kalian (Indonesia), Ardy Bernardus Wiranata. Berkat dia, saya jadi jatuh cinta dan serius menekuni olah raga ini,” ucap Giuffre, yang merupakan anak didik Ardy.

Target Olimpiade 2016

Tampil di kejuaraan dunia tentu bukanlah puncak impian para atlet bulutangkis. Seusai mendapat kesempatan berpartisipasi di Kejuaraan Dunia BWF 2015, target besar mereka selanjutnya adalah Olimpiade 2016 Rio de Janeiro.

Pun demikian bagi Paiola, yang tahun depan berpeluang menjadi salah satu wakil kontingen tuan rumah. “Kans memang tipis, tapi saya akan tetap berusaha,” ucapnya.

Tekad sama juga dilontarkan Guiffre, dan ganda putra Afrika Selatan, Andries Malan/Willem Viljoen. Mendapat sokongan dana penuh dari pemerintah negaranya, Giuffre maupun Malan/Viljoen menempatkan Olimpiade 2016 sebagai tujuan utama mereka tahun depan.

Andries Malan/Willem Viljoen

Memang bukan pekerjaan mudah untuk mendapat tiket Olimpiade. Terutama bila mengingat slot peserta hanya sebanyak 16 pemain untuk sektor tunggal dan 8 pasang untuk sektor ganda.

Namun, Giuffre, Paiola, Careme/Labar, dan Malan/Viljoen pantang menyerah sebelum ‘berperang’. Menurut mereka, perjalanan menuju Olimpiade 2016 masih panjang.

“Bisa saja, kejutan berikutnya akan datang dari salah satu dari kami,” kata Malan/Viljoen.

Jadi, sudah siap menantikan kejutan dari luar kekuatan tradisional?

Baca juga:

Profil: Carolina Marin, dari Flamenco ke Campeona Dunia

Feature: Ambisi Membawa Bulutangkis Sejajar dengan Tenis

Feature: Ekiring dan Mimpi Besar Bulutangkis Afrika

Video Populer

Foto Populer