Sukses


Kolom: Rio Haryanto, antara Kontroversi dan Harapan

Bola.com, Jakarta "Haryanto this .... Haryanto that ..." hati ini serasa melambung, saat Sky Sports menayangkan balapan GP2 Series dari Sirkuit Silverstone, Inggris, di paruh musim panas 2015. Nama itu dilafalkan dengan fasih, "r" terdengar sempurna dan ... nama ini terdengar sangat akrab di telinga.

Nama seorang Indonesia, satu bangsa dengan saya, dan menjadi semakin dalam artinya karena saya sedang berada jauh dari Tanah Air. Sebuah kejadian yang mengaduk emosi: sebentuk nasionalisme kecil. Lalu semakin meruap saat lagu Indonesia Raya berkumandang di parc ferme. Rio Haryanto menjadi juaranya!

Rekan Senegara

Hanya terpaut beberapa bulan kemudian, seorang karib di Tanah Air mengirim pesan: Sob, kalau Rio jadi ke F1 kita mesti pergi nonton bareng geng F1 kita, ya. Belum sempat saya membalas, datang pemberitahuan dari teman lainnya: menyatakan sukacita telah ikut serta dalam aksi penggalangan dana Sahabat Rio.

Ini sebentuk dukungan finansial agar Rio bisa terus melangkah ke bursa pebalap Formula One (F1) sebagai pay driver. Pengertiannya: pebalap profesional yang berlaga tanpa dibayar dan membawa dana sendiri untuk operasional tim di mana dia bergabung.

Bagi saya yang berlatar belakang jurnalis otomotif, nama Rio bukanlah suatu hal asing. Meski di era itu liputan saya lebih banyak tentang kedua abangnya: Roy lalu Ryan, serta ayah mereka, Sinyo. Saya mengingat Rio kecil--dengan postur menggemaskan, plus pipi yang tembam--sebagai pegokart belia. Sang ayah menemani ia balapan dengan turun di kelas master.

Beberapa tahun lalu Rio berhasil mengantongi super licence dan siap melabuhkan karier di F1. Kabar baiknya, Manor Racing telah menunjuk dia, namun tantangannya--kata ini jauh lebih konstruktif daripada kabar buruk--, Rio diberi status pay driver.

Ekspresi Rio Haryanto setelah meraih juara di Sprint Race GP2 Seri Inggris yang berlangsung di Sirkuit Silverstone, Inggris. Minggu (5/7/2015). (GP2 Media Service)

Pukulan Ganda 

Tidak berbanding lurus dengan situasi di Tanah Air yang begitu antusias menyambut kelahiran pebalap F1 pertama kita, di sini saya membaca berita tentang Rio dengan citarasa asing.

Ada pers Inggris yang di awal-awal isu masuknya Rio ke bursa pebalap F1 menyebut dia sebagai "unknown Indonesian driver" alias pebalap tak dikenal dari Indonesia. Lalu ada pula tulisan "tragis-romantis" yang menyebutkan bahwa Will Stevens, pebalap Inggris yang tahun lalu turun bersama Manor Racing, berada dalam kondisi bitter blow. Patah hati dua kali akibat Manor Racing kini menggandeng Rio.

Patah hati yang pertama, karena Stevens tidak lagi bersama tim ini. Lantas patah hati kedua, tahun lalu mesin yang dipakai kurang kompetitif. Pada 2016 ini mestinya bisa menjadi pembuktian performanya, karena Manor Racing menandatangani kontrak menggunakan dapur pacu buatan Mercedes.

Masih dengan nada pahit, pers di Inggris juga menambahkan, dengan ketidakhadiran Stevens, kini Inggris hanya punya tiga wakil: Lewis Hamilton, Jenson Button, dan Jolyon Palmer. Khusus pernyataan satu ini, saya cukup bisa memahami kekecewaan mereka karena Inggris dikenal sebagai tanah kelahiran Grand Prix, di samping negara sepak bola.

Berbagai ajang balap single seater digelar di sini sejak lama, menjadi markas banyak tim F1, memiliki pusat-pusat riset dan pengembangan balap, sekaligus selalu siap mencetak pebalap-pebalap baru setiap saat.

Tetapi paling mengesalkan adalah komentar dengan terminologi "dog eat dog". Bahwa pada akhirnya, bakat pebalap cuma bicara 45 persen dan sebanyak 55 persen adalah kekuatan finansial.

Jadilah Stevens didepak, Haryanto masuk. Tidak hanya menyorot absennya Stevens, satu nama lain ikut dikedepankan, yaitu Alexander Rossi. Bahasannya: siapalah yang bisa mengungguli kekuatan sebuah negara sebagai penjamin dana pebalap.

2 dari 2 halaman

1

Tetap Membumi 

Pemberitaan yang kurang kondusif, termasuk ruang komentar bebasnya, bisa membuat kening berkerut. Tetapi, justru disitulah seninya. Kita mendapatkan sudut pandang yang lebih luas sehingga bisa berbesar hati, dan bertekad membuktikan lewat Rio bahwa Indonesia, menjadi negara ke-40 yang memiliki atlet di pentas F1, mampu berbicara di kelas teratas balap single seater.

Kalau saja pers asing menyimak tayangan detik-detik Rio sowan ke kantor Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang diunggah ke Youtube, mungkin pemahaman mereka menjadi lebih berimbang. Memang Kementerian Olahraga turun tangan memberikan jaminan, tetapi prosesnya juga berliku.

Didampingi kedua orang tuanya, Sinyo Haryanto dan Indah Pennywati, serta manajer Mr Piers Hunnisett, mereka berupaya maksimal mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah. Ada rasa trenyuh, saat pendengaran ini menangkap kalimat ibunda Rio yang penuh kelembutan, "Berapa G (g-force), Le (Nak)?" saat memberikan pemahaman kepada Ahok dan hadirin, betapa balap jet darat membutuhkan stamina prima.

Rio kemudian menjelaskan beban sebesar 4G dialami olehnya di kokpit mobil saat balapan dan hal itu diantisipasi dengan olahraga rutin, termasuk lari 10 kilometer setiap hari.

Lantas sang ayah juga menandaskan, bahwa kebutuhan dana ini berkait pembiayaan bagi tim. Ada ratusan personel di luar pembalap yang mengurusi segi teknis dan nonteknis. Begitu pula urusan riset dan pengembangan mobil balapnya.

Bila pers berbahasa Inggris mau mengkaji soal pay driver di kancah F1 tahun ini, Palmer yang berasal dari Inggris juga berstatus pay driver. Tahun lalu, saat turun balap di F1, Stevens juga memasok dana sekitar enam juta Poundsterling untuk tim.

Jadi, ketika ada suara menyebutkan bahwa kehadiran pay driver bakal menutup talenta cemerlang seorang pebalap (yang urung turun karena segi finansial tidak mendukung), hal itu bisa dilihat pula dari sisi sebaliknya. Yaitu: ada pebalap yang belum dikenal tetapi berbakat. Satu-satunya cara untuk menunjukkan kemampuan dia adalah dengan muncul sebagai pay driver terlebih dahulu.

Rio Haryanto berbincang dengan wartawan sebelum test drive bersama Manor Racing di Barcelona. (Bola.com/Rio Haryanto Media)

Stevens sudah mencobanya musim lalu. Kini Palmer serta Rio berada dalam kondisi yang sama. Kalau mau menilik contoh suksesnya, ada Niki Lauda (bisa disimak via film Rush), salah satu pebalap F1 legendaris peraih tiga kali juara dunia (1975, 1977, dan 1984).

Keputusan Manor Racing lebih memilih Rio dibandingkan pebalap lain, tentu punya alasan kuat. Soal relasi, bukan terjadi serta merta secepat kilat. Paling tidak sejak enam tahun silam, relasi tersebut sudah terbentuk saat Rio berlaga di arena GP3 bersama tim ini.

Lalu keuletan yang Rio tunjukkan selama bertarung di ajang GP2 Series. Banyaknya fans Rio di negeri sendiri, juga menjadi bonus. Apalagi, kaum muda Tanah Air kita terkenal sebagai pengguna aktif berbagai media sosial. Hal ini akan membawa dampak positif bagi tim, bahkan F1, sebagai bentuk sebuah pengakuan nantinya.

Mesti diakui juga, sebagai privateer yang akan bertarung di papan tengah, Manor Racing juga perlu suntikan dana segar. Mereka mati-matian bertahan sejak memasuki dunia F1 pada 2010 sampai hari ini. Masuknya pay driver tentu sangat berarti karena bisa menopang eksistensi mereka di pentas balap jet darat.

Lantas buat sirkus F1 sendiri, keputusan pemilihan driver memang dipegang masing-masing tim. Namun soal pemasaran tentunya tak lepas dari pengamatan mereka. Menempatkan seorang pebalap yang memiliki banyak fans pengguna media sosial, bisa menjadi bagian dari strategi untuk meraih lebih banyak lagi pencinta F1.

Apalagi, selain Rio di musim ini tidak ada pebalap lain dari benua Asia. Bila ingin tetap menjadikan benua ini sebagai pasar potensial, apalagi ada lima balapan digelar di Asia, yaitu Shanghai (China), Baku (Azerbaijan), Singapura, Sepang (Malaysia), dan Suzuka (Jepang), Rio bisa digadang-gadang sebagai pahlawan lokal regional mewakili Asia.

Benar tidaknya kemungkinan strategi pemasaran ini, mungkin bukan persoalan penting bagi kita, yang lebih menggantungkan harapan besar agar Rio Haryanto mampu berbicara lewat prestasinya di trek. Perjuangan anak bangsa Indonesia di F1 baru saja dimulai. Jadilah yang terbaik. Di sini saya tidak sabar untuk memberitahu teman-teman dan tetangga, "he's my fellow countryman!"


Ukirsari Manggalani

Travel writer, penulis cerpen, dan mantan editor sebuah media otomotif di Tanah Air. Saat ini bermukim di London.

 

Video Populer

Foto Populer