Sukses


Aturan Servis Bulutangkis dan BWF yang Mengada-ada

Bola.com, Jakarta - Susy Susanti merupakan sosok yang sangat mementingkan detail. Saat masih aktif bermain bulutangkis, Susy bahkan punya “buku sakti” untuk mencatat berbagai analisisnya, mulai kekuatan dan kelemahan lawan, hingga kondisi venue pertandingan.

Bagi Susy, detail-detail tersebut bakal menjadi senjata menghadapi pertandingan. Legenda bulutangkis Indonesia itu senang bertindak dan berbicara berbasis data. Bahasa simpelnya: tidak asal-asalan.

Maka, ketika Susy menyebut Badminton World Federation (BWF) alias Federasi Bulutangkis Dunia, sedang mengada-ada, saya yakin ucapan itu tak terlontar secara asal-asalan. Kritikan itu meluncur ketika saya menelpon Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI itu sekitar tiga pekan menjelang All England 2018. Saya sekadar ingin mengulik persiapan pemain-pemain Indonesia menjelang turnamen prestisius tersebut.

Kebetulan, saya menelepon tepat setelah pemain di Pelatnas Cipayung menggelar simulasi servis sesuai aturan baru BWF. PBSI menilai pemain perlu mendapat bekal karena aturan baru tersebut mulai dijajal di Jerman Terbuka dan diterapkan di All England, pada 14-18 Maret 2018.

Aturan batasan tinggi servis ini mengharuskan pertemuan shuttlecock dan kepala raket, tak boleh lebih tinggi dari 115 cm. Sebelumnya, tinggi servis disesuaikan dengan antropometri tubuh masing-masing pemain, yaitu di rusuk terbawah.

Mengapa Susy menyebut sampai BWF mengada-ada?  “Kami tidak mau pemain dirugikan. Servis sudah puluhan tahun seperti itu, mengapa harus diubah?”

Susy menyebut BWF mengada-ada karena bukan hanya mengubah aturan servis, tapi juga berencana mengganti sistem poin dan penerapan aturan jumlah turnamen yang harus diikuti pebulutangkis papan atas. Khusus penerapan aturan servis, menurutnya terkesan belum matang.

“Beberapa negara juga juga sudah saling berbagi informasi, dan berencana mengajukan keberatan. Jangan sampai hanya didiamkan. BWF jangan terlalu gampang mengubah aturan, karena itu bisa memengaruhi cara permainan. Ketika sistem poin  diubah menjadi reli saja butuh empat tahun baru bisa beradaptasi, ini malah mau diubah lagi,” keluh Susy.

Indonesia bukan sekadar mengkritik tanpa ujung pangkal, tapi memilih memberikan masukan secara resmi dalam manager meeting All England, di Birmingham, Inggris, Kamis (14/3/2018).  Sejumlah pemain Indonesia merasa dirugikan akibat servis mereka dinyatakan fault, bahkan ada yang lebih dari sepuluh kali dalam satu game di Jerman Terbuka.

Kondisi itu dianggap memengaruhi penampilan pemain. Faktor lain yang memicu keberatan dari Indonesia adalah belum adanya infrastruktur memadai untuk mendukung aturan tersebut. Penentuan servis masih tergantung sudut pandang hakim servis dan tak ada alat sensor khusus atau kamera untuk menampilkan ulang servis tersebut, seperti layaknya teknologi hawk eye.

Di Jerman Terbuka, banyak pemain Indonesia jadi korban aturan baru servis.  Rizki Amelia Pradipta kena 11 kali fault di babak pertama, dan dua kali pada babak kedua. Gloria Emanuelle Widjaja servisnya dinyatakan terlalu tinggi sebanyak enam kali saat bertanding di babak pertama, sedangkan Anthony Sinisuka Ginting sebanyak lima kali servisnya dinyatakan fault selama Jerman Terbuka.

 

2 dari 4 halaman

Bereaksi Keras

Bukan hanya pemain Indonesia yang resah dengan aturan baru tersebut. Jauh-jauh hari, sejumlah pebulutangkis papan atas telah bereaksi keras. Viktor Axelsen salah satunya.

Aturan servis baru lebih menyulitkan bagi pebulutangkis berpostur tinggi. Axelsen bahkan sampai mengunggah video tengah berlatih servis sambil jongkok untuk menyindir aturan baru BWF tersebut. Lee Chong juga berkeluh kesah, terutama karena aturan servis tersebut dijajal di turnamen sepenting All England. 

Kritikan lebih tajam datang dari Lin Dan. “Saya sudah bermain secara kompetitif lebih dari 10 tahun dan juga berlatih selama 30 tahun sebagai pebulutangkis dan tiba-tiba BWF mengajari semua orang bagaimana melakukan servis.” Kometar khas Lin Dan, sangat blak-blakan. 

Pemain spesialis ganda asal India, S Nikki Reddy, bahkan menyebut BWF sedang bermain-main dengan masa depan pebulutangkis dunia. Dia menuding BWF tak peduli dengan perjuangan dan kerja keras pemain untuk meraih mimpi mereka.  

Bagaimana tanggapan BWF atas hujan kritikan tersebut? Menutup telinga. Setidaknya sejauh ini belum ada respons menyejukkan dari petinggi federasi tersebut.

Keresahan pemain maupun pelatih bukan melulu gara-gara aturan servis. Faktanya, BWF berencana melakukan perombakan besar-besaran. Ada empat poin aturan yang telah diterapkan atau menunggu ratifikasi. Proposal resmi perubahan akan disebarkan ke anggota pada 30 Maret, kemudian pengambilan suara dilaksanakan pada BWF Annual General Meeting, 19 Mei 2018, di Bangkok. 

Apa saja aturan baru yang dimaksud?

1.       Aturan servis

berdasarkan aturan baru, tinggi servis tak boleh melebihi 115 cm dari lapangan. Sebelumnya, batasan servis adalah rusuk terbawah masing-masing pemain.  Aturan ini efektif berlaku pada 1  Maret 2018 dan telah dijajal pada Jerman Terbuka serta All England.

2.       Perubahan Sistem Poin  

Aturan ini butuh dukungan di BWF Annual General Meeting sebelum diterapkan di turnamen internasional. BWF ingin mengubah format best of three menjadi best of five. Batas poin juga diubah dari 21 menjadi 11.

Sistem best of three dengan skor 21 diperkenalkan pada 2006. Namun, BWF merasa pertandingan berlangsung terlalu lama, terutama jika disiarkan secara langsung di televisi. Sistem skor 11x5 telah diuji coba sejak 2014 dan kemungkinan benar-benar diaplikasikan di turnamen besar mulai tahun ini.

3.       Mengurangi instruksi pelatih di lapangan.

Aturan baru ini juga butuh dukungan dari anggota BWF. Selama ini, pelatih mendapat kesempatan memberikan instruksi ke pemain saat interval (poin 11) dan pada akhir gim. Dalam proposal baru BWF, sesi ini akan dipangkas.  

4.       Partisipasi Wajib

Aturan ini telah resmi diaplikasikan sejak awal 2018. Pebulutangkis tunggal putra dan putri berperingkat 15 besar, wajib berpartisipasi minimal dalam 12 turnamen per musim atau membayar denda. Jumlah 12 turnamen tersebut tak termasuk Asian Games atau Commonwealth Games yang digelar pada tahun ini.  

 

3 dari 4 halaman

Meniru Tenis

BWF mengklaim punya alasan kuat ngotot melakukan perubahan tersebut, setidaknya terkait poin kedua dan keempat. Federasi Bulutangkis Dunia merasa perlu mendongkrak sisi komersial bulutangkis, meningkatkan kualitas produk siaran, memangkas durasi pertandingan, dan mengurangi kelelahan fisik dan mental pemain. BWF merangkum rencana perubahan tersebut dengan tagline “Enhancing Badminton Future”.

Alasan yang disodorkan BWF kurang mendapat respons hangat dari pemain dan pelatih. Ada yang diam, tapi tak sedikit yang berpolemik secara terbuka.

Kewajiban pemain papan atas berpartisipasi dalam 12 turnamen dalam setahun dinilai tak masuk akal. Pemain mengeluh bakal kurang istirahat dan rawan cedera karena jadwal terlalu padat. Rencana mengubah sistem poin dan mengurangi interaksi dengan pelatih di lapangan juga dianggap terlalu gegabah, setidaknya menurut bintang India, Prannoy HS. Menurutnya, perubahan itu akan menyebabkan pemain menjadi “sulit bernapas”. Dia menuding semua aturan baru BWF justru menyulitkan pemain.  

Lin Dan juga meradang. “Apa tujuan dari aturan-aturan baru ini, khususnya servis? Saya rasa BWF berusaha meniru tenis, tapi sejauh ini gagal,” sergah Lin Dan.

Tudingan Lin Dan bahwa BWF ingin meniru tenis sangat masuk akal. Bulutangkis dan tenis, sebagai olahraga yang sama-sama menggunakan raket, kerap dibandingkan. Dari sisi manapun, tenis lebih unggul. Popularitas, jangkauan wilayah, hingga nominal uang yang berputar di olahraga tersebut. 

Dalam beberapa dekade terakhir, basis fans tenis terus melonjak. Televisi berperan besar dalam melejitnya popularitas tenis. Sponsor, produsen apparel, hingga televisi terus melakukan eksplorasi untuk mendulang pundi-pundi uang lewat tenis.  Menjual figur, kisah rivalitas, hingga sisi-sisi lain di dalam maupun luar lapangan.

Penonton rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menyaksikan rivalitas di lapangan, yang dibawa ke dimensi berbeda. Produsen apparel menggaet desainer dari berbagai penjuru dunia demi menyulap pertandingan menjadi lebih “berwarna”. Penonton bukan hanya disuguhi pertandingan, tapi juga “peragaan busana”. Media juga berkontribusi memastikan sang juara menikmati sorotan besar.

Grand Slam yang dihelat empat kali dalam setahun, di Australia, Inggris, Prancis, dan Amerika masih menjadi jualan utama tenis. Peran besar sponsor dan cover siaran televisi membuat grand slam jauh lebih glamour dibanding turnamen papan atas di bulutangkis. Sebagai perbandingan, Grand Slam Wimbledon di Inggris menyediakan total hadiah 31,6 juta poundsterling pada 2017 atau setara Rp 613 miliar. Di bulutangkis, turnamen All England yang dianggap paling bergengsi hanya menyodorkan total hadiah senilai 1 juta dolar AS atau setara Rp 13,7 miliar. 

Perbandingan lebih ekstrem dapat diintip dari pendapatan pemain. Pada 2013, ketika Lee Chong Wei sedang menikmati kejayaan dan penampilan sangat konsisten, pundi-pundi uang yang diraupnya dalam setahun mencapai 295.540 dolar. Di tenis, Novak Djokovic mampu mendulang 11.197.947 dolar AS. Singkatnya, pada tahun itu pendapatan Djokovic 38 kali lipat lebih banyak dibanding Lee Chong Wei.  

Secara kasat mata, perbandingan tersebut jelas tidak merefleksikan performa kedua bintang tersebut di lapangan. 

Daya tarik global dari permainan, yang semakin meningkat dan inovasi tiada henti dalam memasarkan olahraga di televisi berperan besar membuat tenis beberapa langkah lebih maju dibanding bulutangkis, terutama dari sisi komersial.  

 

4 dari 4 halaman

Fokus Sisi Pemasaran

Jika ingin mengikuti jejak keberhasilan tenis, BWF semestinya lebih fokus menggarap sisi pemasaran, dibanding mengutak-atik sisi teknis, yang ujung-ujungnya memicu polemik di kalangan pemain dan pelatih. Sudah lama saya tak mendengar tenis mengubah aturan teknis yang substansial. 

BWF perlu menyusun road map yang lebih inovatif, terutama bagaimana menemukan cara melebarkan sayap di Eropa dan Amerika Serikat demi menggaet sponsor-sponsor kelas kakap dan liputan media yang lebih masif. 

Diakui atau tidak, bulutangkis masih akan dipandang sebelah mata jika belum bisa menaklukkan dua kawasan itu.  Tenis sudah lama menancapkan kuku di sana, yang berimbas meroketnya popularitas dan menggelembungnya pundi-pundi uang. Bagaimanapun, sponsor-sponsor besar dan produsen apparel menghitung Eropa dan AS sebagai market penting. 

Bulutangkis memang sudah lama memiliki dua turnamen elite di Inggris dan Denmark, bahkan sudah muncul juara dunia dari Spanyol melalui Carolina Marin dan Denmark telah merengkuh trofi Piala Thomas. Namun, Asia masih menjadi nadi bulutangkis, baik dari sisi pemain maupun basis suporter. 

Sekadar usul untuk BWF, tak ada salahnya memanfaatkan Annual General Meeting di Bangkok, Thailand, untuk mendengarkan masukan, bukan sekadar ajang menggelar voting guna meratifikasi aturan baru. Masa depan bulutangkis bukan hanya di tangan BWF, tapi juga pemangku kepentingan lainnya. Siapa tahu, dari sesi sharing tersebut muncul ide-ide yang lebih brilian untuk mendongkrak sisi komersial bulutangkis seperti yang diidamkan BWF, ketimbang energi banyak terbuang memperdebatkan hal-hal teknis dan akhirnya tak selaras dengan target yang dituju. 

Fans bulutangkis dunia tentu tak ingin melihat Lin Dan serta Lee Chong Wei sering meradang di pengujung karier hanya gara-gara manuver BWF yang mengada-ada.  Biarkanlah dua legenda hidup bulutangkis dunia tersebut menikmati dengan tenang sisa karier mereka untuk mengejar mimpi-mimpi yang belum tergapai. Tak adil rasanya melihat pemain justru jadi korban konsep "setengah matang" dari BWF.  

Fans bulutangkis Indonesia tentu juga ingin fokus menyaksikan dan mendukung Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon menyuguhkan aksi-aksi ajaibnya, tanpa diganggu kekhawatiran mereka salah melakukan servis atau kekelahan karena mengikuti terlalu banyak turnamen atau harus bekerja keras beradaptasi dengan sistem skor baru.

Bukan usulan yang sulit dikabulkan kan, BWF? 

 

Video Populer

Foto Populer