Sukses


Cerita Keseharian Penuh Pengorbanan dan Perjuangan Anak Didik di PB Djarum

Bola.com, Kudus - Sudah sekitar 10 tahun terakhir PB Djarum konsisten menggelar audisi umum untuk mencari bibit-bibit potensial yang akan dicetak jadi pebulutangkis andal. Satu di antara yang saat ini ada di mes PB Djarum di Kudus untuk ditempa adalah atlet cilik asal Pekanbaru, Calvin Kennedy Chandrawinata.

Satu tahun terakhir ini ia berada di Kudus, meninggalkan keluarganya, untuk mengejar cita-cita jadi atlet bulutangkis jempolan. Ia mengaku ingin seperti Lee Chong Wei dan Anthony Sinisuka Ginting, dua pebulutangkis idolanya.

Untuk jadi seperti mereka, tentu tak mudah. Hari-hari Calvin, yang masih berusia 10 tahun, diisi dengan latihan. Dalam sehari, ia bisa berlatih lebih dari dua jam. 

Calvin masih harus membagi waktunya dengan urusan studi di sekolah. Saat ini ia tercatat jadi pelajar di SD Kanisius, Kudus.

"Untuk latihan, ada jadwal latihan berselang-seling. Minggu pertama dan ketiga, latihannya sebelum sekolah. Minggu kedua dan keempat, setelah sekolah," kata Calvin.

Kehidupan sebagai pebulutangkis cilik memang tak mudah. Selain harus jauh dari keluarga dan orangtua, membagi waktu antara latihan dan pendidikan akademis, Calvin harus belajar disiplin, semisal dalam hal makan.

PB Djarum sudah menyiapkan makanan dengan menu tepat untuk menunjang gizi atlet cilik di masa pertumbuhan. Calvin mengaku tak bosan dengan menu yang disiapkan setiap harinya.

Meski begitu, namanya anak-anak, mereka masih ingin menyantap menu yang tidak direkomendasi seperti jenis junkfood.

"Selain junkfood, beberapa jenis makanan lain juga dilarang dikonsumsi terlalu sering. Kami izinkan mereka makan itu, tapi mungkin hanya satu bulan sekali," ujar Reni Ardhianingrum, salah seorang pelatih fisik di PB Djarum.

Tak hanya itu, agar fokus berlatih dan belajar tak terganggu, seluruh anak didik juga wajib mematuhi aturan terkait penggunaan telepon genggam.

Calvin menuturkan untuk hari Senin hingga Kamis, ia dan rekan-rekannya hanya bisa menggunakan ponsel selama dua jam. Kemudian setiap hari Jumat, selama 2,5 jam, dan hari Sabtu bisa bermain ponsel selama tiga jam.

"Nah, kalau hari Minggu bisa seharian bermain HP. Tapi, jam 20.00 sudah wajib diserahkan kembali," ujarnya.

2 dari 2 halaman

Evaluasi dan Tangis

Saat mendapat jatah bermain ponsel itulah, seperti anak-anak seusianya lainnya, Calvin mengaku kerap bermain game sekadar untuk refreshing.

Manajer tim PB Djarum, Fung Permadi, bangga dengan seluruh anak didik yang ada saat ini. Bahkan, ia bangga dengan apa yang diperlihatkan ribuan bocah yang ingin menjadi seperti Calvin, bisa lolos dan ditempa di PB Djarum.

Terbukti, antusiasme mengikut Audisi Umum yang digelar per tahun terus meningkat. Puncaknya pada tahun ini. Ada total 5.957 anak yang ikut serta, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 4.058 peserta.

"Di usia seperti mereka, sudah merasakan perjuangan. Harus selain diingat, apa pun hasilnya," kata Fung.

Di sisi lain, Calvin harus terus membuktikan diri layak berada di lingkungan PB Djarum. Hingga sepanjang tahun ini, ia tercatat sudah tampil di tiga turnamen dan dari hasil, cukup apik.

Namun, prestasi yang diraih atlet cilik hanya jadi bonus pada evaluasi komplet yang dilakukan PB Djarum untuk peserta didik. Hal itu mengacu pada adanya "promosi degradasi".  Evaluasi diadakan setiap tahun, tetapi pencoretan terkadang dilakukan sekali dalam dua tahun.

"Yang paling penting dari evaluasi adalah seberapa besar kemajuan yang dicapai anak didik dalam mengikuti sistem dan pembinaan karakter yang kami terapkan. Kalau bisa berprestasi, itu jadi nilai tambah," tutur Fung.

Meski harus menjalani hari-hari yang berbeda dengan teman seusianya, Calvin sudah mantap jadi atlet bulutangkis.

Ia mengaku tak pernah menangis kendati harus menahan rindu berjumpa orangtua dan keluarga, atau pun tak bebas menikmati makanan dan minuman yang diinginkannya, atau hanya sekadar bermain ponsel secara leluasa.

"Saya nggak nangis," ujarnya.

Hal berbeda diungkap Fung. Ia berujar banyak anak didiknya yang masih kerap menangis, terutama di masa-masa awal tinggal di mes karena harus berjauhan dengan orangtua alias homesick dan menjalani adaptasi. "Banyak yang menangis, tapi mereka mau bilang, malu katanya," ungkap Fung sambil tertawa.

Video Populer

Foto Populer